16 Desember 2019

Perkawinan Usia Anak di Dalam Masyarakat




Intensitas menanyakan status perkawinan pada seorang bujang terkadang menimbulkan dilema tersendiri. Bisa jadi yang menanyakan hanya bermaksud basa-basi, namun yang ditanya jadi baper. Namun ada pula yang bertanya tentang status perkawinan ini benar-benar bertanya dan beranggapan bahwa pada usia tertentu, seseorang memang sudah harus menikah.

Kebiasaan yang terus terjadi tersebut membuat banyak orang panik jika dirinya atau anaknya belum menikah. Standarisasi hidup seakan-akan terletak pada status perkawinan. 

Nggak heran, ada yang kemudian buru-buru menikah demi menyelamatkan harga dirinya. Begitu juga dengan orang tua yang tak ingin anaknya dicap bujang atau perawan tua, mereka pun tak membuang waktu untuk segera menikahkan anaknya meskipun si anak masih terbilang di bawah umur. 

Pada tahun 2017 proporsi perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun tercatat sebesar 11,54%. Hal ini dikemukakan oleh Fatahillah Rais, M.Si - Asisten Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementrian PPPA yang menjadi keynote speaker pada Dialog Publik Pencegahan Perkawinan Usia Anak yang berlangsung pada tanggal 5 Desember 2019 di MG Setos Hotel Semarang.

Angka tersebut turun menjadi 11,2% pada tahun 2018, hanya sedikit bergeser dari tahun sebelumnya. Hal ini menjadi catatan penting ketika Indonesia masuk dalam ranking 7 di dunia dalam kasus perkawinan usia anak dan ranking 2 di ASEAN.

Perkawinan anak jelas merupakan pelanggaran atas pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak sesuai UU 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (UU 35 tahun 2014 tentang perubahan UU 23). Pada Ratifikasi Konvensi Anak, terkait perlindungan anak ini adalah segala kegiatan yang menjamin dan melindungi anak agar bisa tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.


Pemicu Perkawinan Usia Anak


Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia anak, di antaranya:

Ketidaksetaraan Gender


Ketika kita membincang soal gender, kita tidak mempersoalkan masalah laki-laki dan perempuan (jenis kelamin). Kodrat perempuan untuk melahirkan itu bukan terkait gender karena memang tidak bisa dipertukarkan dengan laki-laki. Pembahasan gender lebih kepada peran dan fungsi yang bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Misal pengasuhan anak ataupun melakukan pekerjaan rumah, dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. 

Ketimpangan gender ini amat dipengaruhi oleh budaya patriarki yang masih sangat dominan di dalam masyarakat. Begitu kuatnya pola ini sehingga sulit untuk membangun persepsi tentang peran dan fungsi yang bisa dibagi antara laki-laki dan perempuan. Angka partisipasi sekolah dan kerja bagi perempuan masih rendah. Contohnya, ketika keluarga mengalami keterbatasan dana pendidikan, pasti yang didahulukan untuk sekolah adalah anak laki-laki. Toh nanti perempuan larinya  ke dapur. 

Harus dibangun rekonstruksi pemikiran seputar kesetaraan gender ini mulai dari keluarga. Anak laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk bertumbuh kembang dan mengambil peran sertanya dalam masyarakat.


Kemiskinan dalam Keluarga


Ketika suatu keluarga mengalami permasalahan keuangan yang menjerat keluarga, salah satu solusi yang biasa dilakukan adalah menikahkan anak perempuannya cepat-cepat. Tujuannya agar bisa mengurangi beban ekonomi keluarga.

Setelah menikah, diharapkan permasalahan keuangan keluarga bisa teratasi. Padahal tak jarang, anak yang menikah di bawah umur ini masih belum sanggup memikul beban rumah tangga di kemudian hari. Yang ada malah nantinya dia masih tetap merepotkan keluarga dengan pola pengasuhan anak yang telah dilahirkannya dalam usia muda.

Lingkaran kemiskinan ini akan terus berputar. Perkawinan usia anak yang dipicu oleh kemiskinan ini membuat keluarga tersebut beresiko mengalami rendahnya kualitas pendidikan. Seorang ayah atau ibu baru yang muncul dari perkawinan usia anak, bisa jadi mengulangi kembali pola pernikahan ini untuk keturunannya.


Budaya Dalam Masyarakat


Pada beberapa daerah maupun beberapa kebiasaan etnis tertentu, adanya perjodohan untuk anak masih berlaku. Antar orangtua saling menjodohkan anaknya tanpa merasa perlu untuk menanyakan hal tersebut kepada anaknya masing-masing.

Padahal ada anak yang masih ingin melanjutkan sekolah, terpaksa harus memupus cita-citanya karena harus masuk dalam ikatan pernikahan ketika usianya masih tergolong anak-anak. 

Selain itu anggapan bahwa telat menikah akan mendapat predikat perawan tua juga menjadi momok tersendiri. Stigma ini masih banyak berlaku di masyarakat lhooo..



Rendahnya Literasi 


Semakin mudah akses internet dengan beragam informasi yang berseliweran, setiap orang bisa membaca dan menontonnya melalui gadget yang dimiliki. Tak terkecuali oleh anak yang masih berusia di bawah 19 tahun. 

Rasa penasaran yang disertai dengan kurangnya kontrol dari orang tua, membuat anak asal coba-coba dengan hal baru. Salah satunya termanifestasi dalam bentuk perilaku seksual yang mengakibatkan kehamilan di luar pernikahan. Akhirnya orangtua terpaksa menikahkan anaknya di usia belia.

Kemajuan teknologi yang tidak diimbangi dengan literasi yang memadai, mengakibatkan banyak efek negatif yang timbul di masyarakat. Hal inilah yang perlu disadari oleh orangtua ketika memberikan ijin kepada anak untuk mengakses internet dalam berbagai wujud, mulai dari penggunaan media sosial hingga sumber pencarian informasi berupa tulisan dan video.



Permasalahan yang Timbul Akibat Perkawinan Usia Anak


Pada dialog publik ini hadir para narasumber yang memiliki kompetensi di bidang gender, pemberdayaan anak, maupun pakar kesehatan anak. 






Narasumber yang pertama adalah Dra. Retno Sudewi, APT. M.Si. Beliau menjabat sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Provinsi Jawa Tengah.

Bu Retno menyampaikan tentang komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam merumuskan program kebijakan untuk mencegah dan menekan angka perkawinan usia anak. Miris juga ketika beliau menampilkan data kekerasan yang terjadi pada anak. Ternyata tinggi juga jumlah korban kekerasan pada anak yang terjadi di Jawa Tengah, terutama yang terjadi pada anak perempuan.

Adapun jenis kekerasan yang dialami terdiri dari berbagai jenis, mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran, trafficking, eksploitasi, KDRT dan lainnya. 

Apa yang terjadi ketika terjadi perkawinan usia anak yang dilanjutkan dengan kehamilan?
  • Timbulnya resiko kehamilan pada ibu dan janin
  • Ibu muda kurang memperhatikan kehamilannya, tidak tertib melakukan kontrol kehamilan.
  • Meningkatnya kematian ibu dan bayi
  • Resiko menderita kanker di masa yang akan datang

Duuuh... kok ngeri banget ya efek dari perkawinan usia anak ini ya. Makin berat aja nih tantangan orangtua dalam membersamai perjalanan anak menuju kehidupan dewasanya.

Acapkali kehamilan yang terjadi pada anak perempuan ini memang tidak diinginkan. Bisa saja karena hamil di luar nikah ataupun tragedi perkosaan. Akibatnya, berbagai dampak buruk pun terpaksa ditanggung oleh si anak, berupa:
  1. putus sekolah
  2. kehilangan kesempatan meniti karir
  3. menjadi orang tua tunggal dan pernikahan dini yang tidak terencana
  4. kesulitan dalam beradaptasi secara psikologis
  5. kesulitan beradaptasi menjadi orangtua
  6. rawan stres dan mengalami konflik 
  7. kesulitan beradaptasi dengan pasangan
  8. berusaha mengakhiri kehamilannya dengan aborsi yang beresiko terhadap kematian atau rasa sakit yang luar biasa 

Oleh karena itu, literasi seputar hak anak harus diketahui oleh para orangtua. Terlebih lagi sudah ada konvensi hak anak, dimana Indonesia menjamin pemenuhan kebutuhan anak seperti yang terlihat pada ilustrasi di bawah ini:




Berkaitan dengan Konvensi Hak Anak tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk pendewasaan usia perkawinan anak. Kebijakan tersebut meliputi:
  1. Wajib belajar 12 tahun
  2. Sosialisasi pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi (kespro), melalui PP No. 61 tahun 2014 tentang Kespro
  3. Program KB dan Generasi Berencana
  4. PUG dalam pembangunan nasional dan konsep KKG
  5. Program Kabupaten/Kota Layak Anak
  6. Revisi UU no. 1 tahun 1974, masuk prolegnas 2015-2019
  7. Perbaikan RUU Kesetaraan Gender
  8. Sosialisasi UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan UU no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
  9. Bekerja sama dengan organisasi perempuan, organisasi keagamaan dan ormas dalam hal sosialisasi Pendewasaan Usia Perkawinan
  10. Peraturan Menteri PPPA No. 6 tahun 2013 tentang Pembangunan Keluarga
  11. Sosialisasi tentang "Parenting Skill"
  12. Menyediakan program-program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan UKM Keluarga Miskin
  13. Pembuatan Perda untuk pencegahan perkawinan usia anak











dr. Setya Dipayana, Sp.A

Youtuber dan Pakar Kesehatan Anak


Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si

Pegiat Gender pada P3G LPMM Universitas Sebelas Maret Surakarta


Keynote Speaker

Indra Gunawan, SKM, MA

Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementrian PPPA


Hevearita Gunaryanti Rahayu

Wakil Walikota Semarang


Septy Wulandari

News Producer dan Praktisi Media

25 komentar:

  1. Jadi ingat di desa saya dulu pernikahan di usia anak malah jadi hal yang seolah-olah "biasa", bahkan anaknya juga mau alias tanpa paksaan. Karena budaya yang melekat kalau perempuan nggak perlu sekolah tinggi-tinggi karena ujungnya akan jadi IRT. Sedih banget lihatnya. Semoga makin banyak keluarga dan masyarakat yang sadar tentang dampak negatif dari pernikahan usia anak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Meskipun si anak mau, tetap saja mba secara psikologis dan fisik belum waktunya. Alhamdulillah kalau memang akhirnya rumah tangganya baik-baik saja, walaupun masa anak-anaknya terpaksa direnggut tanpa disadarinya.

      Hapus
  2. saya teringat dengan para selebgram yang sering share hubungannya dengan pacar di medsos, sampai liburan bareng :( maaf oot tapi menurut saya ada hubungannya karena mendorong anak remaja untuk memiliki relation ship goal seperti para selebgram tersebut :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener sekali mba. Kemudahan akses internet juga menjadi salah satu penyebab pergeseran nilai yang dianut oleh anak.

      Hapus
  3. Kalau di kampung, menikah di usia anak memang jadi hal biasa. Tapi, itu dulu. Sekarang sepertinya sudah lebih banyak yang mengerti dan memahami bahwa menikah itu harus dipersiapkan matang-matang baik mental dan fisik juga. Sedih kalau ada yang sampai putus sekolah karena harus lekas menikah.

    BalasHapus
  4. Pernikahan dini memang harus dicegah dan diatasi dengan pendekatan yang tepat. Apalagi di jaman digital yang penuh godaan ya mba Un..

    BalasHapus
  5. Apakah UU nomor 23/2002 ini menyiratkan bahwa orang yang menikahkan anak di bawah umur itu boleh dipenjarakan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya sih enggak baca dari A sampai Z undang-undangnya mba, mungkin mba bisa langsung cek dari berbagai website. Yang jelas, salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak anak bisa berupa hilangnya jaminan dan perlindungan terhadap anak untuk tumbuh dan beraktualisasi. Apalagi kalau sampai bilang 'perempuan ntar paling banter ya ke dapur', ini sudah termasuk diskriminasi.

      Hapus
  6. Jadi ingat, anak tetangga yang masih kelas 2 smp harus putus sekolah krn hamil di luar nikah. Perhatian orang tua kurang krn sibuk kerja di luar negeri

    BalasHapus
  7. ini juga terjadi di daerah saya dimana anak-anak lulus smp sudah dinikahkan. Ya , alasannya sih mayoritas ekonomi lemah dan anaknya enggak mau sekolah. Dampak negatif seperti yang disebutkan mbak uniek benar semua dan saya melihatnya langsung

    BalasHapus
  8. di desa banyak yg nikahkan anaknya karena kondisi kurang mampu, berharap dg menikahkan maka anak dpt kehidupan yg lebih baik dan bs membantu perekonomian keluarga. nyatanya kalau menikah dg yg ekonominya sama, dan lelaki belum bekerja, masalah makin rumit

    BalasHapus
  9. Resikonya luar biasa berbahaya ya mbak , tidak hanya itu dampak buruknya juga akan sangat ngefek nanti kedepannya

    BalasHapus
  10. Saya setuju sama program ini utk mengurangi pernikahan usia anak. Mental anak2 belum sanggup memikul komplikasi masalah rumah tangga. Yg ada hanya mempertinggi tingkat perceraian. Dan akan tambah byk lagi anak2 broken home 😕

    BalasHapus
  11. Memang sebagian besar pemicunya seperti yang disebutkan di atas, di lingkungan teman main masa kecilku di desa yang letaknya di lereng gunung, rata-rata nikah di usia belia.

    BalasHapus
  12. Pernikahan anak di usia dini. Ini masalah dari tahun ke tahun seperti belum ada solusi yang pas. Karena budaya masyarakat Indonesia sebagiaan besar menganggap perempuan hanya 'orang belakang.'

    Termasuk di desa saya juga. Dicap sebagai perawan tua itu dah 10 thn yg lalu ketika saya mendaftar SMK. Lainnya, tamat SMP mah harus nikah, tapi saya emoh. Lah, masih kecil juga.

    Sampai saya usia 20 thn an, kerja, ya tetep aja ada yg menganggap ngapain bangun karir tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya nanti cuma jadi 'orang belakang.'

    Budaya seperti itu nampaknya perlu dibenahi. Serta orang-orang yang menganggap perempuan sebelah mata, juga perlu diedukasi.

    Cukup rumit memang, di sisi lain, sebagian ada anak yg memang kebablasan dalam pergaulan. Yg tadinya coba-coba jadi hamil di luar nikah. Mau gak mau orang tua harus menikahkannya.

    Selain itu, sistem perjodohan yg masih banyak terjadi, terutama di daerah kecil. Anak gadis belia masih 15 thn aja udah dijodohkan. Katanya takut nanti jadi perawan tua.

    Hiyaah.. kok aku jadi kayak ngeluarin uneg-uneg. Maafkaaan.. sambil curhat. Hahaha.

    BalasHapus
  13. Aku udah paling sedih kalau ada anak abis lulus SMPatau SMA nikah, entah dinikahin, entah nikah krn cintaaaa huhuhu. Padahal pernikahan gak seindah drama Korea yaaa.
    Memang butuh semacam pendekatan ke masyarakat khususnya nih yg dikarenakan budaya supaya mencegah pernikahan macam ini terjadi. Tapi kyknya dr pemerintah sendiri pun jg udah kasi uu tega soal batasan usia nikah, tapi ya mbuh lagi kalau nikahnya siri hiks

    BalasHapus
  14. Berisiko memang kalah menikah masih di bawah umur atau belum dewasa. Psikologis, fisik mental belum siap. Apalagi dunia pasca pernikahan tidaklah mudah

    BalasHapus
  15. Nyimak informasi yg bermanfaat ttg edukasi pernikahan dini. Ternyata efek ke ibu dan bayinya nggak cuma mental, jg kesehatan fisik ya mba. Semoga semakin banyak yg bisa peduli dan sadar menikah sesuai usia minimal pernikahan.

    BalasHapus
  16. Yap psikologi anak usia dini masih belum stabil. Apalagi diminta jadi pasangan hidup, bisa2 kacau kan yaaa kalau gak ada yg kasih pengarahan lebih jelas

    BalasHapus
  17. Semoga semakin banyak masyarakat yang teredukasi masalah pernikahan ini.
    karena niatnya masing-masing orang untuk menikah, tidaklah sama.
    Apalagi kalau sudah ada kaitannya dengan hukum adat.
    Hiiks~

    BalasHapus
  18. Sedihnya, hingga kini masih banyak yang menganggap pernikahan dini ini sesuatu yang biasa. Dan sosialisasi pencegahan ini yang harus terus kita lakukan

    BalasHapus
  19. padahal ibu yg cerdas akan menghasilkan anak yg cerdas pula ya. kasian sbnrnya sama anak perempuan yg harus putus sekolah demi menikah:( padahal bahaya jga buat kesehatan dia, rahimnya blm siap juga

    BalasHapus
  20. Mba ART aku, sekarang usia 22th, anak nya usia 6th. Nikahnya dia usia 16th waktu itu katanya. Krn di kampungnya itu usia 15th malah sdh dinikahi dan tdk jarang malah ada yg ditinggal suami nya setelah melahirkan. Miris memang ya ..pdhal mereka masih punya masa depan

    BalasHapus
  21. Zaman sekarang masih banyak ya anak yang nikah di usia dini. Miris juga. Semoga ada tindakan nyata untuk menguranginya.

    BalasHapus
  22. Nah saya tuh juga menyorot kesiapan mental untuk menghadapi pernikahan
    Sebab, pernikahan tidak serta-merta menuntut bahagia saja tetapi perlu kontrol lahir batin menyikapi problema yang ada
    Usia Anak tentu masih labil

    BalasHapus