26 Mei 2025

Seni Beradaptasi: Move On Bukan Melupakan, Tapi Melangkah Maju

teknik move on

Beragam hal yang saya alami sebagai blogger sejak tahun 2011 membuat saya tahu betul rasanya menghadapi berbagai "badai". Dari writer's block yang menyerang di tengah deadline, tumpukan pekerjaan kantor yang bikin kepala berasap, sampai harus beradaptasi dengan lingkungan kerja baru berkali-kali di awal 2000-an karena merasa perusahaan lama tak lagi mendukung pertumbuhan.

Namun, ada badai yang jauh lebih dalam dan menguras: badai kehilangan. Di tahun 1996, saat saya masih kuliah semester 5, Bapak berpulang. Rasa kehilangan itu begitu menghentak, di usia yang masih mencari jati diri, saya harus menangisi kepergian salah seorang yang amat saya sayangi. 

Lalu, di tahun 2022, saya kembali diuji ketika harus merawat kedua orang mertua yang sakit tua, mengalami demensia, dan full bed rest. Tak lama kemudian, mereka berdua meninggal dunia dalam waktu berdekatan. Sungguh, rasa kehilangan yang bertubi-tubi dan kelelahan fisik yang luar biasa membuat saya sempat tidak aktif menulis lagi.

Pengalaman-pengalaman ini mengajarkan satu hal fundamental: seni move on.

Banyak orang mengira move on itu tentang melupakan. Padahal, move on jauh lebih ke arah beradaptasi, menerima, dan melangkah maju dengan pelajaran yang sudah didapat, bahkan dari luka terdalam sekalipun. Entah itu move on dari patah hati, kegagalan proyek, kehilangan passion, atau duka mendalam, prinsipnya sama: bagaimana kita bangkit dan menemukan pijakan baru. Mari kita selami lebih dalam setiap tahapan ini.



Pahami: Merasa Adalah Manusiawi, Menolak Adalah Menyakiti

Langkah pertama dalam move on adalah mengizinkan diri untuk merasa. Seringkali, saat kita menghadapi situasi sulit, respons pertama kita adalah menolak atau mengabaikan perasaan tidak nyaman. Kita cenderung ingin cepat-cepat "baik-baik saja" atau "melupakan". Padahal, proses penyembuhan atau adaptasi justru dimulai dari pengakuan jujur terhadap apa yang sedang kita alami.

Saat writer's block melanda, misalnya, saya seringkali merasa frustrasi, bahkan marah pada diri sendiri. Pikiran-pikiran seperti, "Kok bisa sih ide buntu gini? Padahal udah ngeblog dari 2011!" seringkali menghantui. Perasaan gagal, tidak kompeten, dan cemas karena blog juga merupakan salah satu sumber pendapatan, bisa jadi kombinasi yang sangat menyesakkan. 

Dulu, di awal tahun 2000-an, saat harus beberapa kali keluar dari pekerjaan yang saya anggap tak lagi menunjang, ada rasa kecewa yang mendalam, juga ketakutan akan ketidakpastian. Ntar jangan-jangan tidak dapat pekerjaan lagi.

Namun, di antara semua tantangan itu, duka kehilangan adalah jenis rasa sakit yang berbeda. Kehilangan Bapak di tahun 1996, saat saya masih mahasiswa, adalah pukulan telak. Dunia seolah berhenti. Perasaan hancur, kebingungan, dan kesendirian itu begitu nyata. 

Kemudian, di tahun 2022, ketika kedua mertua meninggal dunia setelah melalui masa perawatan yang panjang dan menguras energi, rasa lelah fisik berpadu dengan duka mendalam. Sempat ada titik di mana saya merasa tidak punya tenaga lagi untuk melakukan apa pun, apalagi menulis di blog. Menolak emosi-emosi seperti ini, memendamnya dalam-dalam, hanya akan memperpanjang penderitaan dan menghambat proses move on yang sehat.


1. Penerimaan Awal: Memvalidasi Emosi, Bahkan yang Paling Pedih

Memvalidasi emosi berarti mengakui bahwa perasaan kita adalah sah dan memiliki alasan di baliknya. Tidak ada emosi yang "salah". Sedih, marah, kecewa, takut, frustrasi, atau bahkan mati rasa, itu semua adalah respons alami manusia terhadap pengalaman yang menantang, terutama duka. Alih-alih melabeli diri sebagai "lemah" karena merasa sedih atau "bodoh" karena melakukan kesalahan, coba katakan pada diri sendiri, "Wajar kalau aku merasa begini. Apa yang terjadi adalah bagian dari proses."

Bagaimana praktiknya? Ketika writer's block melanda dan saya merasa stres, saya akan berhenti sejenak. Saya tidak langsung memaksa diri untuk menulis. Sebaliknya, saya mencoba memahami, "Oke, aku sedang stres menghadapi deadline dan ide buntu. Perasaan ini valid." Dengan demikian, saya memberikan ruang bagi emosi tersebut untuk muncul, tanpa menghakiminya.

Dalam menghadapi duka, validasi ini jauh lebih krusial. Saat Bapak meninggal, saya mengizinkan diri untuk menangis, meratap, dan merasakan kekosongan itu. Saat mertua berpulang, meskipun lelah fisik, saya tidak menolak kesedihan itu. Saya memberi diri sendiri ruang untuk berduka, untuk mengenang, dan untuk merasakan kepedihan atas kehilangan orang-orang yang saya cintai. Proses ini memungkinkan saya untuk mulai melihat situasi dengan lebih jernih, bukan dari sudut pandang kepanikan atau penolakan.




2. Belajar dari Pengalaman: Menjadikan Rasa Sakit sebagai Guru

Setiap kesulitan, setiap perasaan tidak nyaman, membawa pelajaran berharga. Rasa sakit itu, jika kita izinkan, bisa menjadi guru terbaik. Dari writer's block yang berulang, saya belajar pentingnya istirahat yang cukup, mencari inspirasi di luar kebiasaan (misalnya, jalan-jalan, membaca buku, atau sekadar mengamati orang di kafe), atau bahkan sekadar menulis draft yang sangat buruk (istilahnya ugly first draft) agar tangan tetap bergerak dan ide mulai mengalir. Saya menyadari bahwa kreativitas itu tidak selalu datang dengan lancar. Terkadang ia perlu dipancing, bahkan dipaksa untuk keluar.

Dari pengalaman berganti pekerjaan di awal tahun 2000-an, saya belajar tentang nilai adaptabilitas dan resiliensi. Saya belajar bahwa tidak semua perusahaan cocok dengan visi dan nilai saya. Saya belajar pentingnya mencari lingkungan yang benar-benar mendukung potensi dan pertumbuhan karier, bukan hanya gaji. Setiap pindah pekerjaan adalah kesempatan untuk memperluas jaringan, mempelajari skill baru, dan memahami lebih dalam apa yang saya cari dalam sebuah karier.

Namun, dari duka, pelajarannya jauh lebih mendalam. Kehilangan Bapak mengajarkan saya tentang kerapuhan hidup dan pentingnya menghargai setiap momen. Hal ini juga mendorong saya untuk lebih mandiri dan kuat menghadapi masa depan. 

Merawat dan kemudian kehilangan kedua mertua mengajarkan saya tentang kesabaran, cinta tanpa syarat, dan arti pengorbanan. Itu juga memberikan perspektif baru tentang prioritas hidup. Proses ini memang tidak nyaman, bahkan sangat menyakitkan, tapi tanpa rasa tidak nyaman itu, saya mungkin tidak akan pernah menjadi pribadi yang seutuhnya seperti sekarang.




Evaluasi: Apa yang Perlu Dipertahankan, Apa yang Perlu Dilepaskan?


Setelah kita mengizinkan diri untuk merasa, langkah selanjutnya adalah evaluasi objektif. Pada fase ini kita mulai menyortir: apa yang perlu kita peluk erat sebagai pembelajaran, dan apa yang perlu kita lepaskan agar bisa bergerak maju? Ini bukan tentang menyalahkan diri sendiri atau orang lain, melainkan tentang melihat situasi dari sudut pandang yang lebih jernih, tanpa bias emosional yang berlebihan.


1. Identifikasi Akar Masalah: Menggali Permukaan

Penting untuk tidak hanya melihat gejala, tetapi juga akar masalahnya. Mengapa writer's block itu datang lagi dan lagi? Apakah karena saya terlalu memaksakan diri? Apakah karena saya kurang membaca atau kurang mengeksplorasi ide baru? Apakah karena saya merasa tertekan oleh ekspektasi traffic atau pendapatan blog?

Begitu pula dengan masalah karier. Mengapa lingkungan kerja sebelumnya tidak mendukung? Apakah karena budaya perusahaannya memang tidak sejalan dengan nilai-nilai saya? Atau apakah ada faktor internal dari diri saya sendiri yang perlu diperbaiki, misalnya komunikasi atau proaktivitas?

Dalam konteks duka, akar masalahnya bukan pada diri kita, melainkan pada realitas kehilangan itu sendiri. Namun, kita bisa mengidentifikasi bagaimana duka itu memengaruhi kita: apakah menyebabkan isolasi, kehilangan minat, atau kelelahan yang tak kunjung usai? Memahami dampak spesifik dari duka memungkinkan kita untuk mencari cara mengatasinya dengan lebih efektif. Bagi saya, kelelahan fisik dan mental setelah merawat mertua adalah akar mengapa saya tidak lagi aktif menulis. Saya tahu itu bukan karena saya tidak ingin menulis, tapi karena energi saya terkuras habis.


2. Tentukan Batasan: Fokus pada Lingkaran Pengaruh

Salah satu kesalahan terbesar dalam move on adalah mencoba mengendalikan hal-hal yang berada di luar kendali kita. Ada banyak hal dalam hidup yang tidak bisa kita ubah: keputusan orang lain, kondisi pasar, atau bahkan kematian. Fokus pada hal-hal ini hanya akan menghabiskan energi dan memicu frustrasi.

Penting untuk menentukan batasan: Apa yang bisa saya ubah? Dan apa yang berada di luar kendali saya? Fokuskan energi dan dan waktu pada hal-hal yang bisa kita pengaruhi. Lepaskan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Kedua langkah ini merupakan kunci untuk menghindari energi yang terbuang percuma dan membangun kontrol diri.

Contohnya, saya tidak bisa mengendalikan algoritma Google yang terus berubah atau selera pembaca yang fluktuatif. Tapi saya bisa mengendalikan kualitas konten saya, frekuensi posting, dan cara saya berinteraksi dengan pembaca. Dalam karier, saya tidak bisa memaksa perusahaan untuk mengubah budayanya secara drastis, tapi saya bisa melakukan penyesuaian dengan tetap berpegang pada prinsip pribadi, atau mencari perusahaan lain yang memiliki budaya yang lebih sesuai.

Ketika menghadapi duka, saya tidak bisa mengembalikan orang yang telah tiada. Itu di luar kendali saya. Namun, saya bisa mengendalikan bagaimana saya merespons duka itu. Saya bisa memilih untuk membiarkan diri saya berduka, mencari dukungan, atau menemukan cara untuk mengenang mereka dengan positif. Dengan fokus pada apa yang bisa saya kendalikan, saya merasa lebih berdaya dan bisa membuat rencana aksi yang konkret.


3. Petik Pelajaran Berharga: Mengubah Luka Menjadi Kebijaksanaan

Setiap pengalaman, baik atau buruk, adalah guru terbaik. Kegagalan bukan berarti akhir dari segalanya, melainkan umpan balik yang berharga. Apa yang bisa kita pelajari dari kegagalan tersebut agar tidak terulang di masa depan? Bagaimana kita bisa menjadi versi yang lebih baik dari dirimu?

Dari setiap episode writer's block, saya belajar untuk lebih proaktif dalam mencari inspirasi, menjaga keseimbangan hidup, dan tidak terlalu keras pada diri sendiri. Saya belajar bahwa istirahat bukan berarti malas, melainkan investasi untuk kreativitas yang lebih baik.


Baca juga : Mengapa Harus Terus Ngeblog?


evaluasi diri agar cepat move on


Dari pengalaman berganti-ganti pekerjaan, saya belajar bahwa saya harus lebih jeli dalam wawancara, mengajukan pertanyaan yang lebih mendalam tentang budaya perusahaan dan peluang pengembangan. Saya juga belajar bahwa networking itu sangat penting, bukan hanya saat mencari pekerjaan, tapi juga sebagai bagian dari pertumbuhan profesional.

Dari duka kehilangan, saya belajar tentang prioritas hidup. Kehilangan Bapak di saat masih muda mengajarkan saya untuk tidak menunda-nunda apa yang penting dan untuk lebih menghargai orang-orang terdekat. Merawat dan kehilangan kedua mertua mengajarkan saya tentang pentingnya self-care di tengah tanggung jawab yang berat, dan bahwa cinta sejati melampaui batasan fisik

Pelajaran-pelajaran ini adalah bekal berharga yang membentuk saya menjadi blogger dan profesional yang lebih matang. Bisa diibaratkan, segala kepedihan yang saya rasakan itu adalah bekas luka yang berubah menjadi kebijaksanaan. Mengajarkan bahwa bahkan setelah badai terhebat pun, kita bisa menemukan kekuatan untuk melanjutkan hidup.



Bertindak: Bergerak Maju, Sekecil Apapun


Move on pada akhirnya adalah tentang aksi. Bukan hanya berpikir atau merasa, tapi benar-benar melakukan sesuatu, meski itu langkah kecil. Inertia adalah musuh terbesar move on. Semakin lama kita diam dan merenung tanpa bertindak, semakin sulit untuk memulai kembali.


1. Mulai dengan Langkah Kecil: Membangun Momentum Kembali

Ketika kita merasa overwhelmed oleh besarnya masalah, memulai dengan langkah besar bisa terasa menakutkan dan mustahil. Kuncinya adalah memecah masalah menjadi langkah-langkah kecil yang bisa diatasi.

Saat writer's block melanda, daripada menunggu ide sempurna atau mood yang tepat, saya sering mulai menulis apapun yang terlintas di kepala. Kadang hasilnya sampah, tulisan yang tidak nyambung, atau hanya poin-poin singkat. Tapi setidaknya, ada sesuatu yang tertulis. Tindakan ini seperti menyalakan mesin yang mogok. 

Mungkin tidak langsung jalan, tapi setidaknya ada percikan. Tindakan kecil ini membangun momentum dan secara psikologis memberi sinyal pada otak bahwa kita sedang bergerak maju.

Dalam mencari pekerjaan baru, langkah kecil bisa berupa memperbarui CV, menghubungi satu teman lama untuk networking, atau sekadar mencari informasi lowongan di satu situs pekerjaan. Jangan langsung berpikir harus melamar 100 pekerjaan dalam sehari. Satu tindakan kecil saja sudah cukup untuk memulai.

Untuk duka dan kelelahan: Setelah periode duka dan kelelahan merawat orang tua, kembali menulis rasanya mustahil. Saya tidak langsung menargetkan untuk menulis artikel panjang. Langkah kecil saya adalah membuka laptop, membuka draft lama, atau sekadar menulis satu kalimat tentang perasaan saya. Bisa dalam wujud beberapa baris di notebook, atau mengulas kembali foto-foto kenangan. Terkadang, saya hanya membaca ulang artikel-artikel lama di blog saya sendiri untuk membangkitkan kembali passion. Momentum kecil ini, perlahan-lahan, membangun kembali keinginan untuk kembali berkarya.


2. Fokus pada Kontribusi, Bukan Hanya Hasil: Proses Adalah Kemenangan

Terkadang, kita terlalu terpaku pada hasil akhir yang besar dan ideal. Kita ingin blog langsung ramai, pekerjaan baru langsung sempurna, atau masalah langsung selesai. Padahal, seringkali move on adalah tentang menghargai proses dan kontribusi kita di dalamnya.

Saat blog terasa sepi, atau saat saya merasa tidak ada pertumbuhan signifikan, saya fokus pada konsistensi menulis, pada riset yang mendalam, dan pada penyajian konten yang bermanfaat bagi pembaca. Saya fokus pada kontribusi saya, bukan hanya pada jumlah traffic atau pendapatan. Konsistensi ini membangun fondasi yang kuat. Hasil akan mengikuti jika prosesnya benar.


aksi untuk move on


Dalam duka, fokuslah pada kontribusi kepada diri sendiri untuk sembuh. Jangan paksa diri untuk "melupakan" atau "kembali normal" dengan cepat. Izinkan diri untuk berduka. Fokus pada menjaga diri, makan teratur, tidur cukup, dan melakukan hal-hal kecil yang membawa sedikit kedamaian. Kontribusi ini adalah investasi untuk pemulihan jangka panjang.


3. Bangun Lingkungan yang Mendukung: Lingkar Dalam Positif dan Profesional

Seringnya aspek krusial yang satu ini sering terabaikan. Lingkungan di sekitar kita, baik itu orang-orang, informasi yang kita konsumsi, maupun fisik, sangat memengaruhi kemampuan kita untuk move on. Usahakan kelilingi diri kita dengan orang-orang atau hal-hal yang positif, yang bisa memberi semangat, inspirasi, dan dukungan.

Saat menghadapi tantangan karier, support system dari keluarga dan teman sangat membantu. Mereka bisa menjadi pendengar yang baik, pemberi saran, atau sekadar pengingat bahwa kita tidak sendirian. Hindari orang-orang yang pesimis atau toxic yang justru menarik energi kita.

Untuk duka dan kelelahan: Dalam periode kehilangan, saya bersyukur memiliki keluarga dan teman yang pengertian. Mereka tidak memaksa saya untuk cepat pulih, tapi memberikan ruang dan dukungan. Kadang, hanya sekadar ada di sana, mendengarkan tanpa menghakimi, itu sudah sangat membantu. 

Bahkan, bagi blogger, komunitas penulis bisa jadi sumber motivasi 

dan inspirasi. Berbagi pengalaman, tantangan, dan solusi dengan sesama blogger seringkali bisa memecahkan writer's block atau sekadar memberikan semangat baru. 

Berkaitan dengan komunitas, teman-teman juga bisa baca artikel saya sebelumnya ini : Blogger Juga Perlu Berjejaring

Membaca buku-buku pengembangan diri, mendengarkan podcast inspiratif, atau mengikuti workshop juga bisa menjadi bagian dari lingkungan yang mendukung ini. Jangan segan untuk mencari bantuan profesional jika duka terasa terlalu berat untuk ditanggung sendiri. Psikolog atau konselor dapat memberikan strategi koping yang efektif untuk mengatasi duka berkepanjangan.




Peran Keseimbangan dan Kesehatan Fisik-Mental dalam Move On


Sebagai seorang blogger yang juga punya pekerjaan kantoran dan mengandalkan blog sebagai sumber pendapatan lain, serta pernah melewati masa-masa merawat dan kehilangan orang terkasih, saya sangat memahami pentingnya keseimbangan dan kesehatan fisik-mental. Tekanan untuk selalu produktif dan "baik-baik saja" bisa sangat menghimpit, apalagi saat berduka atau kelelahan.


sehat fisik dan mental agar cepat move on


Prioritaskan Diri Sendiri di Atas Segalanya

Jangan sampai kesibukan atau duka membuat kita lupa untuk merawat diri. Usahakan tidur yang cukup, makan makanan bergizi, berolahraga (meskipun hanya jalan santai), dan memiliki waktu untuk hobi atau aktivitas yang kita nikmati di luar pekerjaan dan blogging

Ketika tubuh dan pikiran kita sehat, kapasitas untuk menghadapi tantangan dan move on juga akan meningkat. Setelah periode merawat mertua, hal pertama yang saya lakukan adalah memastikan saya mendapatkan istirahat yang cukup. Yang saya lakukan ini adalah bentuk self-care paling mendasar.


Nutrisi yang Mendukung Pemulihan: Kekuatan dari Dalam

Kesehatan fisik adalah fondasi bagi kesehatan mental. Saat tubuh lelah atau berduka, nutrisi yang tepat menjadi sangat krusial. Saya belajar bahwa menjaga pola makan yang baik bukan sekadar untuk menjaga berat badan, tapi juga untuk memberikan energi dan nutrisi yang dibutuhkan otak dan tubuh untuk berfungsi optimal dan pulih.

Prioritaskan asupan makanan utuh seperti buah-buahan, sayuran, protein tanpa lemak, dan biji-bijian. Hindari makanan olahan, gula berlebihan, dan kafein berlebihan yang bisa memperburuk kecemasan atau kelelahan. Salah satu sumber energi alami yang sangat saya andalkan, terutama di masa-masa sulit itu, adalah kurma.

Kurma adalah buah yang kaya akan serat, kalium, dan antioksidan, yang semuanya penting untuk menjaga kesehatan tubuh dan memberikan energi yang stabil. Ada banyak jenis kurma, tapi saya punya favorit pribadi: kurma Medjool. Kurma jenis premium ini dikenal dengan ukuran besar, daging buah yang tebal, dan tekstur yang lembut seperti karamel. 

Manisnya kurma Medjool ini alami dan tidak bikin eneg, sangat pas untuk mengembalikan energi yang hilang tanpa efek samping negatif seperti lonjakan gula darah yang tajam. Seringkali, saat saya merasa stuck dengan writer's block atau sekadar butuh dorongan energi, beberapa butir kurma Medjool sudah cukup untuk membuat saya merasa segar kembali dan siap melanjutkan. Ini adalah contoh bagaimana nutrisi sederhana bisa menjadi bagian penting dari strategi move on kita.


Istirahat Bukan Berarti Menyerah, Tapi Memulihkan Kekuatan

Dulu, saya sering merasa bersalah jika tidak menulis atau bekerja. Sekarang saya tahu, istirahat adalah bagian integral dari produktivitas. Saat writer's block datang, saya tidak ragu untuk berhenti, jalan-jalan, atau bahkan sekadar gegoleran. 

Ketika saya kembali, seringkali ide justru mengalir lebih lancar. Ini adalah bentuk move on dari mindset "bekerja terus-menerus" menuju mindset "bekerja cerdas dan efektif". Terlebih lagi saat berduka, istirahat bukan sekadar jeda, tapi kebutuhan vital untuk memulihkan energi fisik dan mental yang terkuras.


Jeda dari Keterikatan: Media Sosial dan Ekspektasi

Saat merasa kelelahan atau berduka, terkadang hal terbaik yang bisa dilakukan adalah mengambil jeda dari media sosial atau tekanan eksternal lainnya. Melihat pencapaian orang lain saat kita sendiri sedang di titik terendah bisa memperparah perasaan tidak berdaya. 


Baca juga : Personal Branding di Media Sosial


Ambil waktu untuk fokus pada diri sendiri dan proses pemulihan. Tindakan ini merupakan langkah move on dari ekspektasi tak realistis yang sering kali datang dari perbandingan sosial.


Jangan Takut Mencari Bantuan Profesional

Ada kalanya, kita menghadapi situasi yang terlalu berat untuk ditangani sendiri. Jika perasaan sedih, cemas, atau frustrasi terus berlarut-larut dan mengganggu kehidupan sehari-hari (seperti yang saya alami ketika kehilangan dan kelelahan), jangan ragu untuk mencari bantuan dari profesional seperti psikolog atau konselor. 

Mencari bantuan bukan tanda kelemahan, melainkan tanda kekuatan dan keberanian untuk mengakui bahwa kita membutuhkan dukungan. Terapi bisa memberikan ruang aman untuk memproses emosi dan strategi koping yang sehat.



Move On adalah Proses, Bukan Destinasi


Sebagai seorang blogger yang blognya juga menjadi sumber penghasilan, saya memahami tekanan untuk selalu produktif dan "baik-baik saja". Namun, move on bukanlah tujuan akhir dimana tiba-tiba semua masalah lenyap. Ini adalah proses berkelanjutan yang akan terus kita alami sepanjang hidup.

Dari writer's block yang memusingkan hingga tantangan karier yang mengharuskan saya berulang kali keluar dari zona nyaman, hingga yang paling berat, duka mendalam karena kehilangan orang-orang terkasih, ada satu benang merah yang bisa saya tarik. Setiap rintangan adalah kesempatan untuk mengasah "otot move on" kita. 

Bukan tentang menghilangkan rasa sakit atau menghapus kenangan, melainkan tentang mengintegrasikan pengalaman itu ke dalam diri kita dan belajar darinya untuk menjadi lebih kuat. Momen-momen bersama Bapak, atau saat merawat kedua mertua, adalah kenangan berharga yang membentuk siapa saya hari ini. Saya tidak akan melupakan mereka, melainkan move on dengan membawa serta pelajaran dan cinta yang mereka tinggalkan.


tentang move on

Jadi, rangkul setiap prosesnya. Biarkan diri kita merasa, evaluasi dengan jujur, dan ambil langkah, sekecil apapun itu. Jaga asupan nutrisi dan kesehatan fisik yang menjadi bahan bakar utama untuk bangkit. 

Belajar dari setiap jatuh, jangan takut untuk terus melangkah maju. Karena pada akhirnya, move on adalah tentang menjadi lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih siap menghadapi apa pun yang datang di masa depan. 

Di saat inilah kita semua belajar tentang seni adaptasi. Pada dasarnya, kita semua adalah seniman dalam perjalanan hidup kita. Setuju?

14 komentar:

  1. Ya ampun, kisahnya menyentuh banget, Kak Uniek! Ternyata move on itu bukan soal melupakan, tapi tentang menerima dan melangkah maju, ya. Daaaaannnn... move on salah satu bentuk pengampunan pada diri sendiri dan pada orang lain yang nggak mudah. :)

    BalasHapus
  2. Saya malah ditinggal bapak tahun 1994 itu waktu saya SMP kelas 2. Mana jauhan saya di Tasikmalaya sementara bapak meninggal d Cianjur. Saat itu belum ada hp. Makanya saya baru tau bapak meninggal setelah semingguan dikubur.
    Bagaimana ga kehilangan coba?

    BalasHapus
  3. Terlalu berat beban hidup yang harus dilalui, membuat sebagian besar orang sulit sekali untuk move on. Bahkan seolah tidak ingin melangkah maju dan melupakan masa lalu. Padahal sudah waktunya ya untuk bangkit kembali dan menatap masa depan yang masih panjang. Ternyata move on yang sebenarnya bukan hanya melupakan saja , tetapi melangkah maju menatap masa depan... Very nice article 👍👍👍

    BalasHapus
  4. keren banget mba tulisannya. soal move on bisa dibahas se-konkret ini. pasti gak mudah buat bisa terus melangkah sedangkan rasnaya hati tertinggal di belakang. jadi aku cuma mau bilang buat orang-orang yang berjuang move on, "kalian hebat!"

    BalasHapus
  5. Kalimatnya dalem banget, move on itu memang soal keberanian hati ceilahhh hehehe

    BalasHapus
  6. Ternyata benar sekali ya. Move itu meman harus bergerak melangkah maju. Dan itu memag harus keinginan dan semangat dari diri sendiri. Soalnya banyak mengira move on itu melupakan.termasuk saya juga hehehe. Misalnya baru gagal lomba blog dan jadi agak malas. Ah,... belum bisa move on ( melupakan) nih nih. Padahal harus, "Ayo, move on (bergerak melangkah) menulis lagi dan mencari lomba blog lainnya.

    BalasHapus
  7. sangat insightful! Pengalaman pribadi yang dibagikan membuat "seni beradaptasi" ini terasa begitu nyata dan relevan. Setuju sekali, move on itu bukan melupakan, tapi melangkah maju dengan pelajaran dari setiap badai. Kisah tentang duka dan writer's block benar-benar menyentuh. Ini pengingat penting bahwa memvalidasi emosi dan bertindak, sekecil apa pun, adalah kunci.

    BalasHapus
  8. Bener mbak sepakat banget move on itu sebuah proses bukan tujuan. Suka banget tulisannya, beneran menyentuh, berasa banget nulisnya dari hati, pengalaman hidup biasanya tidak mudah untuk dibagikan

    BalasHapus
  9. Bener banget, move on itu satu-satunya cara untuk bertahan hidup dari hal-hal yang ada di luar kendali kita. Tidak hanya untuk kesehatan mental, tapi juga fisik. Udah ngalamin banget "ngurusin" orang2 yang ngga bisa move on ini

    BalasHapus
  10. Iya mba betul sekali kehilangan memang sangat menyedihkan, tetapi hidup harus terus berjalan. Menerima apa yang sedang dirasakan dan sedang terjadi adalah hal utama sebelum melangkah maju.

    BalasHapus
  11. Terima kasih, ka Un.
    Suka banget dengan closing linenya mengenai "Rangkul setiap prosesnya".
    Karena proses ini nyata membuat seseorang bisa lebih dewasa, membentuk karakter lebih bijaksana dan yang pasti.. namanya duka, senang, sedih, bahagia, pasti datangnya silih berganti.

    Semoga setiap proses yang mendewasakan ini menjadi ladang pahala bagi diri yang sudah bersabar melewati setiap prosesnya.

    Barakallahu fiik, ka Un... untuk perenungannya.

    BalasHapus
  12. Berdamai dengan keadaan dan mengontrol situasi yang kadang sulit serta berat adalah salahsatu kunci dalam hidup kita.

    BalasHapus
  13. Banyak orang yang menganggap move on itu tentang melupakan. Padahal, move on lebih ke arah beradaptasi, menerima, dan melangkah maju dari keadaan sebelumnya, ya ...

    BalasHapus
  14. Keren sih.... pengalaman melewati berbagai "badai" dengan seni beradaptasi nisa jadi insight buat yang lain. Secara move on itu tentang melangkah maju dengan membawa pelajaran, bukan melupakan. Mengizinkan diri untuk merasa, mengevaluasi, dan bertindak, bahkan dengan langkah kecil, memang kunci. Salut atas perjalanannya kak

    BalasHapus