16 April 2014

Misty Brown Eyes At The Bay Bali

    Donita tak pernah tau ada semburat cinta yang selalu kupancarkan untuknya. Dia selalu tak peduli, terlalu sibuk dengan segala urusan dan gadget-gadget tercintanya. Mata cantiknya itu tak pernah digunakan untuk menikmati keindahan sekitarnya. Misty brown eyes kalau boleh kubilang. Deretan angka, email dan presentasi bisnis saja yang dihiraukannya. 

    Kemampuannya untuk menaikkan trafik penjualan di divisi marketing memang tak ada yang meragukan. Product knowledge yang dikuasainya membuat Donita cas cis cus saat melakukan presentasi di hadapan calon pembeli. Biasanya sekali melihat Donita presentasi, potential customer akan langsung menurunkan Purchase Order. 

    Aku bangga sekali dengan kepiawaian Donita. Tak sia-sia aku merekomendasikan dirinya kepada big boss waktu itu. Meskipun pada awalnya aku sendiri kurang yakin akan kemampuannya, kini semuanya berbuah manis. Saat itu aku sekedar menolongnya. Primadona kampus yang karena satu dan lain hal tak juga kunjung mendapatkan pekerjaan. Teringat kembali pembicaraan dua tahun yang lalu itu. 

    “Sungguh Pram? Kau bisa merekomendasikan aku masuk ke perusahaan tempatmu bekerja tanpa harus tes macam-macam?” tanyanya seakan tak percaya. 

    “Asalkan kaujanji tak akan membuatku malu, kerjaanmu beres, tutup order terlampaui, apa lagi?” jawabku enteng. Ya, aku memang sedang butuh asisten handal di divisiku. Keluar masuk orang di posisi itu, belum ada yang membuatku merasa cocok untuk mempertahankannya. Biasanya habis masa percobaan tiga bulan aku tak akan memperpanjangnya. Jadi, apa salahnya kalau kali ini aku memasukkan Donita di posisi itu meskipun dia memiliki satu kekurangan yang mungkin hanya aku yang tau di kantor ini. Toh bila memang dia tidak capable, aku bisa tidak memperpanjang kontraknya. Paling tidak aku sudah menolongnya sesuai kemampuanku. 

    Tapi tak ada putus kontrak, Donita ternyata luar biasa. Dia sangat serius. Kesungguhannya bekerja patut diacungi jempol. Tidak hanya selalu datang early di pagi hari, Donita hanya akan pulang bila dia yakin masalah hari itu sudah diatasi, atau paling tidak dia sudah punya gambaran apa yang akan dilakukannya besok untuk menghadapi permasalahan yang belum tuntas. Itupun selalu disampaikannya kepadaku selaku atasannya. Jadi tak heran bila akhirnya trafik penjualan meningkat sedikit demi sedikit sejak kehadiran Donita. Dia pas sekali menjadi tandemku. Kami saling melengkapi di divisi ini. Aku tak lagi harus kepayahan menanggung target bulanan yang biasanya membuatku pusing seribu keliling.

letak De Opera - The Bay Bali

    Atas prestasi itulah big boss menghadiahkan paket liburan untuk divisi yang kupimpin ini. Aku, Donita asistenku, dan tiga orang salesman bawahanku lainnya lengkap dengan masing-masing pasangan berangkat ke Pulau Dewata. And here we are, memanjakan diri di The Bay Bali

 
    Saat ketiga salesmanku menikmati bebek krispi nikmat di Bebek Bengil, aku sengaja mengajak Donita untuk bersantai di De Opera. Suasananya cukup romantis dengan kilauan kuning lampu-lampu di sepanjang tepian kolam. Tepanyaki performance pun nanti akan kami lihat di Benihana. Pokoknya pengalaman liburan ke Bali kali ini tak boleh berakhir hampa. Kubela-belain mencari tempat makan di pinggir laut yang indah ini untuk berdekatan dengan Donita.

    Kusendok sedikit demi sedikit supku sambil memandangi wajah Donita yang sempurna terkena kilauan bulan dan lampu. Tirus tulang pipinya tak menyembunyikan kecantikannya. Aku masih ingat saat kuliah dulu, pipi ranum itu cukup berisi, bagaikan apel segar yang siap dinikmati. Sungguh berbeda sekali kini pipi itu. 

    “Bisa kauletakkan barang sesaat pad-mu itu, Ita?” 

    Donita tercengang. Baru kali ini aku memanggilnya dengan panggilannya semasa kuliah. Di kantor kami semua memanggilnya Mba Donita. 

    “Saya baru menyiapkan rencana presentasi dengan Crouching Flag, Pak. Bapak kan ingat kalau mereka….” 

    “Kita sedang tidak bekerja malam ini. Dan ingat, jangan panggil aku dengan sebutan Pak. Kau kan temanku,” sungutku. 

    “Tapi Anda kan atasan saya, Pak Pram.” 

    “Itu di kantor, Ita. Di luar itu aku adalah temanmu. Dan kuharap kita bisa lebih dari teman setelah pulang dari sini.” 

    Kupandang bola matanya tajam-tajam. Perlahan-lahan Donita meletakkan semua gadget yang tadi dipegangnya. Dibalasnya tatapan mataku dengan tak kalah tajamnya. 

    “Pram, selama ini aku menghargaimu. Jangan buat aku menjadi skeptis ya.” 

    “Kenapa harus skeptis? Ada yang salah dengan perkataanku tadi?” tanyaku mencecar. 

    “You know me so well, Pram. Everything about me and what happened to me for years.” 

    “So, kalau kamu tau aku sudah mengenalmu dengan baik, kenapa kaujawab seperti itu. Apa gara-gara kamu ODHA lantas salah bagiku untuk mencintaimu?” 

    Kupegang tangannya perlahan-lahan. Ah, Donita terlalu rapuh. Dia sengaja menutup hatinya rapat-rapat karena tak mau sakit dan menyakiti. Selama lebih dari satu tahun dia bekerja menjadi asistenku, aku terus mengamati perkembangannya. Tak pernah sekalipun Donita berakrab-akrab dengan karyawan lainnya. Dinding batu bernama AIDS itu telah mencengkeram kebahagiaannya. Hanya kerja dan kerja saja yang selalu menjadi penyemangat hidupnya. 

    Sejujurnya aku iba luar biasa padanya. Namun demi menyemangati hidupnya, tak pernah sekalipun kutanyakan keadaannya. Apakah dia sudah minum obat tepat waktu, kapan dia kontrol ke dokter, dan hal-hal kecil seperti itu. Donita pasti akan menjauh bila kubahas masalah itu. Terlihat dari cara dia menghindari percakapan berbau urusan pribadi denganku. 

    “Pram, aku harap kau tidak gila. Lihat saja, semua orang mencari pasangan yang sehat. Bahkan memilih makanan pun juga ingin yang sehat. You’ll see Tepanyaki performance. Kenapa harus seperti itu memasaknya? Cepat dengan sedikit minyak? Karena itu sehat, Pram,” jawab Donita dengan mata sayu. 

    “Helloooo, my lady, masak dirimu kaubandingkan dengan daging dan sayuran yang di-tepanyaki. Kacau ah orientasimu. Don’t you have any little happiness in your life just because of this condition?” 

    Donita melepas peganganku dengan lemah. Pandangannya penuh luka. 

    “Aku tak berani mencintai siapa pun, Pram, terlebih lagi berharap terlalu banyak padamu.” 

    What, Donita mengharapkan sesuatu padaku? Kutarik kembali telapak tangannya yang kurus itu. 

    “Kau berharap apa padaku, Ita?” 

    “Ah, tidak Pram, bukan apa-apa,” sahutnya salah tingkah. 

    “C’mon, Ita, jujurlah. Apakah selama ini kita memiliki perasaan yang sama?” 

    Bukannya menjawab pertanyaanku Donita malah mengemasi tas kecil dan pad yang masih terletak di meja. Dia tampak akan segera beranjak pergi. 

    “Sepertinya saya harus kehilangan pekerjaan lagi kali ini. Sepulang dari Bali, saya akan menyerahkan surat pengunduran diri, Pak Pram.” 

    Suara manis itu kembali dingin menusuk. Seperti biasanya. Kupandang punggung kurus Donita yang mencoba berlalu dari hadapanku. Aku tak akan membiarkan ini terjadi. Cepat kutangkap pergelangan tangan dan bahu Donita. Kupegang dan kubalik badannya sehingga kami bertatapan begitu dekat. 

    “Apa maksudmu dengan perkataan itu?” 

    “Saya tak mau anda menjadi orang gila kesekian yang memiliki khayalan kosong, Pak. Saya adalah orang yang tak patut menerima cinta siapapun. Itu sangat anda ketahui. Jadi jangan rendahkan saya dengan omong kosong soal cinta dan kebahagiaan ini,” jawabnya ketus. 

    “Dan jangan pernah kasihani saya dengan cara seperti ini.” Kalimat terakhir yang sangat membuatku terpukul. 

    Kutatap kepergiannya dengan nelangsa. Apa sebenarnya salahku? Apa juga salah Donita? Aku tak pernah tau darimana dia terpapar penyakit itu. Yang aku tau dia adalah gadis yang baik, pintar dan sungguh-sungguh saat bekerja. Aku tidak kasihan padanya. Justru rasa sayangku timbul bukan karena dia menyandang penyakit tersebut. Dari sejak kuliah aku memang naksir Donita. Hanya karena aku bukan mahasiswa ganteng ataupun pintar, aku tak pernah berani mendekatinya.

    Kulemparkan kembali diriku di kursi. Kudengarkan nyanyian ombak yang terdengar begitu hampa kali ini. Salahkah aku bila ingin mendapatkan sedikit kebahagiaan bersama Donita?



Blogpost ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letter of Happiness :
Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!
Read More »

13 April 2014

Rahasia BuMas

Bukan mimpi bukan pula tersambar tumpeng, eeehh dapat kejutan ketempatan syuting untuk program Rahasia BuMas alias Rahasia Ibu Masak, program acara kuliner di B Channel yang dipandu oleh Ibu Sisca Soewitomo, chef kondang yang sudah hadir sejak sebelum para chef ganteng yang sekarang tenar itu lahir hihihiii..

Aku selalu suka lihat acara-acara Bu Sisca, selalu bikin ngiler hasil masakannya. Selalu kepikiran, kalau dia yang masak kenapa gampang sekali ya. Eh, begitu lirik wajan dan panci di rumah kenapa daku mules :)

Saat ada rekan yang kebingungan mencari lokasi bersetting emak-emak kampung, kutawarkanlah rumahku yang apa adanya itu. Yakali keren, masuk gang-gang kecil gituuu... Ternyata berjodoh. Pihak production house yang memproduksi acara itu mau pake rumahku. Ahihihii..Bu Siscaaaa...can't wait to gelar karpet merah bodhoooll ;)

Begini nih udah heboh aja gang di depan rumahku saat enam buah mobil syuting datang berendengan.

 
   

Sampai ijin Pak RW segala untuk urusan menuh-menuhin gang yang cuma selebar dua mobil papasan itu. Alhamdulillah Pak RW mengijinkan untuk menutup sementara satu lajur jalan selama proses syuting berlangsung. Lho kok langsung ijin Pak RW, Pak RTnya kemana? *sembunyiin Pak RT di dalam kamar. Pak RT bilang gak usah minta ijin, secara yang dipakai syuting kan rumah Bu RT mueheheee...

Yang pertama datang ke lokasi adalah tim dari produk Bumas dan Kokita. Langsung bikin stand dan halaman rumahku sukses jadi pasar tiban ;)  Berikutnya tim rias dari Pixy, baru selanjutnya crew PH yang mau syuting. Ibu-ibu gerombolan suka nulis alias IIDN beserta ibu-ibu warga kampung baru dipersilakan menempatkan diri setelah semua persiapan selesai.

Yuk intip persiapannya :

 Bu Sisca sedang mempersiapkan bahan-bahan untuk demo masak

model kondang sedang di-touch up



crew sedang sibuk menata tempat

sedang dipasangi mic, siap jadi asisten Bu Sisca

kalau yang ini nggak jelas banget, judulnya : sayang untuk dibuang :)

Okelah, absurd banget kan foto terakhir tadi. Abaikan ;)

Acara segera dimulai. Inilah potongan scene untuk masakan pertama, Sambal Goreng Krecek dan Tholo




 masakan pertama ini menggunakan Kokita bumbu inti A

sumpeee...enak bingit ini


Masuk ke masakan kedua ya.. Bandeng Masak Cemplung. Tinggal cemplung-cemplung saja gitu cara memasaknya.


 my beautiful sista Inung yang kali ini menemani Bu Sisca

aiiih... laper gak sih lihat yang ini


Lalu masakan yang ketiga adalah Ketan Sarikaya. Bu Sisca menggunakan santan praktis Bumas untuk menyajikan masakan ketan manis nan gurih ini.



voilaaa...cantik banget yak :)


Kok cuma foto-foto? Resepnya manaaa... Sabar ya, sebaiknya :

 
Nah, di siaran yang tayang Minggu besok itu, semua rahasia masak nan praktis namun sedap dari Bu Sisca akan terungkap. Don't miss it yaaaa... :)

Selain jago masak, Bu Sisca ternyata baik luar biasa. Beliau menyiapkan hadiah lucu untuk putra putri para peserta demo masak kali ini.


Tak lupa, sebagai asisten masak sekaligus nyonya rumah, aku mendapatkan dua bingkisan yang isinya uhuuyy banget :)


Terima kasih Bu Sisca, Kokita, Bumas, B Channel, crew PH with luvly Mba Rani, dan tentu saja tingkiuu tiada habisnya untuk sista IIDN Semarang yang mau-maunya kuminta datang ke rumahku di pelosok kampung hehehe...  Sering-sering main sini yak, yoook kita habiskan bandwidth sebelum dipakai Pak RT :)
Read More »

05 April 2014

Kangen Teman Lama

Pernah merasakan kangen teman lama? Aku sering banget nih, apalagi teman lama yang dulu sama 'gila'nya hehehee...

Iya, dari jaman aku menyusup di kampus dengan kedok anak kuliahan (padahal aslinya cuma ngeceng kesana kemari doang), bakat gokil terpendam dari beberapa teman itu sudah kelihatan. Aku yang semula pendiam dan kalem luar biasa akhirnya tertular deh. *nyiapin tameng menghadapi amuk massa

Masih teringat saat antri bimbingan skripsi (sok banget kan??) berjejer-jejer lah kami semacam di posyandu aja. Gimana nggak kayak di posyandu, beberapa temanku sudah ada yang berbadan dua. Saat diriku masih malu-malu ama cowok, eeehh mereka berani-beraninya udah nikah duluan. Terlaluuuuu.... :)  Dari mereka yang sedang berbadan dua itu, ada satu orang yang obrolan bin curcolnya masih kukenang hingga kini.

Yah sebut saja namanya Tika (memang nama sebenarnya). Si Tika yang tingginya cuma separoku ini energinya kayak mainan anak-anak yang pakai energizer gitu saat sedang bicara. Nggak bisa berenti kalau belum nemu makanan hihihiii.... Curcol lah dia dengan bahasa blukuthukan gitu. Tapi di sini kuterjemahin dalam Bahasa Indonesia yang lebih beradab saja lah ya *sambil lirik antagonis ke ybs ;)

Gimana nih nasib anakku di perut, masak aku makan apa aja muntaaahhh mulu. Eh begitu makan nasi putih lauk kerupuk langsung reda muntahnya. Mau jadi apa nanti anakku.
Beneran, memang gitu ngomongnya, sembari berkaca-kaca biar keliatan dahsyat. Aku yang masih belum akil balik mana tau rasanya. Cuma bisa ngikik-ngikik sadis sambil bilang : masalah buat gue :p  Alhamdulillah saat ini saat kucek kondisi putri pertamanya ternyata sehat, pintar dan soleha. Untung Nak dirimu enggak kayak mamamu hihihiii... Etapi gitu-gitu mamamu ngangenin lho, suweeerrr...

Kangen itu terbukti saat tiba-tiba aku pengin banget menyisir histori percakapan gank rusuh via foto-foto yang pernah tampil di timeline FB ku. Gimana enggak rusuh coba, bisa-bisanya share foto yang absurd banget seperti ini :


Errr...terus terang dulu aku selalu dapet nilai jelek untuk Bahasa Inggris, jadi mohon terjemahin sendiri-sendiri ya, Sahabat :)  

Udah? Selesai terjemahin? Aku udah nih, dapet contekan dari sebelah. Ngeri bener isi form itu. Untung dulu orang tuaku nggak mengajukan form ini ke calon suamiku. Bisa stress duluan ntar dia hehehee...



Maaf yak roaming untuk yang gak bisa Bahasa Jawa ;)

Nah, dari sekedar komen mengkomen gambar gak jelas itu setahun yang lalu, aku jadi kangen berat kepada mereka semua yang terlibat dalam percakapan absurd itu. Rame lagi ih ternyata :)

udah setahun berlalu masih lanjut aja rumpinya, keterlaluan sekaleeee :)

Dari gerombolan emak nggak jelas tadi, ada tiga orang yang ngaku-ngaku berlabel Three Must Kenthir. Apa persamaan dari ketiga membernya itu? Nggak ada. Yang satu kecil bantet, yang satu putih sipit, satunya lagi cantik mempesona (pasti udah bisa nebak siapa itu yang cantik mempesona hahaa....). Kami bertiga cuma sama-sama suka jail satu sama lain, bertukar humor dengan level sadistic akut. Siapa yang tersinggung duluan, itulah yang 'kenthir' hihiii... Oya, kami bertiga penggemar berat Harry Potter. Kalau si Tika suka sok ngaku kalau dia itu Cho Chang, aku tidak keberatan dikatakan sebagai Draco Malfoy ataupun Madame Umbridge. Hehehee...keliatan banget ya anomali selera Harpotnya :)

Bertambah dengan teman lainnya di luar Three Mustkenthir, semakin hancur percakapan tadi. Makin hancur tapi makin bikin kangen. Masak malah membahas pemekaran badan dengan analogi yang aneh. Ada yang bilang kebanyakan pake baking soda, ada juga yang ngaku pernah kerendem minyak tanah selama dua malam (emangnya mau mekarin bola bekel ala aki nini). Wis, makin kacau balau deh. Biasa, emak emak kalau asyik ngobrol kan gak pake tema. Follow the wind blows... halah halaahh...terjemahan yang ancuuurr :)

Sahabat blogger lainnya tentu juga punya kan ya teman-teman yang enggak banged seperti ini. Semakin ancur, semakin ngangenin hehehee... Selalu deh nemu yang ngangenin di sosmed buatannya sinang Mark ini. Kejam banget lah dulu ada yang bilang FB haram ataupun mau ditutup. Bagaimana dong nasib orang-orang sepertiku yang sering terkena demam kangen teman lama.

*sebaiknya postingan ini segera diakhiri agar tema tidak melebar kemana-mana
Read More »