28 Februari 2013

A Great Break in Dizzy Busy Days

Tak terasa sewindu sudah aku hidup berdampingan dengan ayah dari anak-anakku. Bukan hal mudah saat dahulu kami memutuskan untuk menikah. Berpegang teguh pada prinsip kemapanan ekonomi, kami baru menikah setelah delapan tahun berpacaran. Dan akhirnya sungguh kusesali pernikahan itu, kenapa enggak dari dulu saja ;)  Tak bisa dipungkiri, hidup berpasangan dan saling mencintai secara halal memang luar biasa nikmatnya.
Kehadiran kedua buah hati kami makin melengkapi kebahagiaan penuh cinta ini. Anak pertama lahir setahun kemudian, kini sudah menjadi seorang gadis cilik manis dan pintar, saat ini duduk di kelas tiga sekolah dasar. Adek laki-lakinya lahir lima tahun kemudian, cowok imut ganteng yang sekarang sedang giat bermain di salah satu PAUD dekat rumah kami.
Read More »

Kelakuan Minor The Cemban Lovers


Aktivitas rutin di tempat kerja kadang kala membuat pikiran kacau, hati galau, bosan meracau *hayaaah, opo neh kuwi. Si penikmat kerja kudu punya strategi untuk memecahkan kehampaan rasa yang melanda tiap kali syndrome bosan ini datang. Bukan suatu dosa lah atas datangnya rasa bosan ini, manusiawi, kan kita ini manusia berjiwa, bukan robot mekanis yang gerakannya cukup itu dan itu dan seterusnya.
Justru itulah tantangan bagi yang berada di dunia kerja. Harus tetap berprestasi, kinerja tak boleh melorot, apa pun yang terjadi. Pimpinan tak akan mau tau kala bosan sedang menerpa kita. Kita juga tak mau kan bila suatu saat pimpinan itu bilang “Saya bosan banget loh nggaji kamu.” Nah loh, bisa berabe kan.
Read More »

25 Februari 2013

SENANDUNG GIMBAL DI KAKI MERBABU




Sejuk Udara wangi pagi

Kuhirup dalam-dalam bersama embun berseri

Saat kutatap cadasnya mega

Gagahnya jajaran bukit perkasa



Ya, kemari kau wahai angkuh

Tak tau kah kau aku sudah siap merengkuh

Bau surgamu yang kian terasa

Menjalar di segenap nadi sendiku

Menantang

Melawan golakan penolakan



Carrier seratus literku yang gagah perkasa

Si hijau setia yang selalu menemani langkahku kemana-mana

Kusentuh lembut sayap-sayap cintamu oh kekasih

Walau hanya sebentuk tas ransel kucel yang terhina

Kau tetap cintaku tiada tara, oh carrier seratus liter



Helaan napas rekan sejawat

Mengiringi perjalananku bersamamu oh carrier seratus literku

Derap perkasa tak kenal lelah

Terus membahana, sahut menyahut, bak titir banjir yang amuk mengalir

Sepatu, sandal gunung, boots, saling menjaga beriringan

Mengawal tuan dan nyonya majikannya

Yang sedang mengejar ambisi taklukkan puncak gunung syahdu



Merbabu

Tak ada keraguan lagi aku padamu

Julangan mancung puncakmu

Yang tiada henti memanggil-manggil pasukanku

Untuk terus menuju ke pangkuan perkasamu

Carrier seratus literku

Tau kah kamu wahai kekasihku

Kubawa serta kau dalam pendakian indah ini

Tak hanya sekedar berbasa-basi dengan si Merbabu ayu perkasa

Kuandalkan kau dengan segenap jiwa

Bantu aku untuk segera bertemu si puncak idamanku itu



Sorga, sorga terasa untuk kami semua

Saat bisa memandang ikalnya awan dari puncak Merbabu perkasa

Carrier seratus literku sayang

Lihat, apakah ikal itu sama dengan geraian hitam rambut gadis Mada

Ya, betul, si Mada gadis cilik yang tadi kita temui di perkampungan sana

Di Thekelan kaki gunung Merbabu

Ingat kan hei Carrier seratus literku sayang?



Gadis legam berkulit kusam

Berambut ikal, oh tidak, lebih tepatnya disebut gimbal

Kenapa tak kunjung kau sisir rambutmu wahai Mada?

Sebegitu sulitkah kau dapatkan sisir di desamu sana




Tlepak


Carrier seratus literku menampar lamunan

Aku tergelincir karena terlalu banyak permenungan

Tapi ingatanku tak kunjung bisa lepas dari bayangan Mada




Gadis cilik legam berkulit kusam

Berapa umurmu wahai bocah misterius?

Tiga? Empat? Ataukah lima?

Sungguh tak jelas berapa usiamu sekarang

Bentuk dan ukuran tubuhmu begitu rata-rata

Rata-rata kecil atau rata-rata besar?


Ah, entahlah

Lebih baik kukata kalau kau berumur lima

Salah pun tak akan ada yang menampar



Tlepak tlepak


Eh, kali ini bukan Carrier seratus literku yang menampar

Juluran dahan-dahan pepohonan rindang di jalan menurun ini

Yang sok akrab menyapa wajah lelahku


Pedas


Perih


Kenapa sih dahan itu tak tau sopan santun

Tak tau ya kalau aku sedang merindukan Mada

Gadis kecil berwajah muram dan berambut gimbal itu




Apa dosamu wahai adik kecil

Kenapa orang tuamu begitu malas menyisirmu

Jorok sekali penampilanmu

Gimbalmu menggelayut berat di seputar bahu ringkihmu




Tapi Mada,

Kenapa kau terlihat begitu pongah di situ

Di antara anak-anak lain sebayamu yang berambut normal

Merasa istimewa kau Mada ?




Kudengar dari bapak tetua desa

Kau sudah mulai mampu bersenandung memaksa

Minta pada kedua orang tuamu berbagai sajian

Untuk ritual potong rambutmu

Sudah berapa lama kau seperti itu Mada?




Kudengar dari bapak tetua desa

Sejak lahir kau memang berbeda

Bagaikan ratu yang menghela dosa ke semua penjuru mata angin

Kau tiupkan wabah pemujaan terhadap keanehan rambutmu




Bapak tetua desa pun berkata

Kau hanya boleh dipotong rambut

Bila kau sudah memintanya

Keriuhan syarat yang kau ajukan

Tak boleh tertolak demi terhindarnya kutukan pada keluargamu

Juga desamu




Percaya pada hal magis seperti itu?

Bisa ya, bisa juga tidak

Tak ada untungnya mau percaya atau pun tidak





Tlepak


Kali ini sandal gunungku yang basah keringat

Membuatku terpeleset

Sejengkal sebelum kujejakkan kaki di depan rumah Mada

Ya, penginapan para pendaki gunung yang kini kukunjungi

Memang berada tepat di depan gubuk Mada

Gadis kecil berwajah muram dan berambut gimbal




Riuh rendah suasana di depan rumahmu Mada

Ada apa?

Rupanya akan ada pesta ya?



Bapak tetua desa pun kembali berkata

Hari ini permintaanmu akan dituruti

Seekor kerbau seperti permintaanmu yang risau

Telah dihadirkan orang tuamu untuk ritual potong rambutmu

Seonggok uang jerih payah berbalut hutang

Terpaksa mereka hadirkan untukmu hai gadis kecil berambut gimbal




Kerumunan para pendaki gunung dan turis manca

Mulai memadati halaman rumahmu

Rupanya ritual potong rambutmu

Telah membuat mata mereka kelu

Begitu juga dengan aku

Takjub ku padamu wahai Mada-ku

Bagaimana nasibmu nanti setelah hilang mahkota gimbalmu

Aku hanya berharap kau tetap akan terus merayu

Mengumandangkan senandung gimbalmu

Walau nanti mungkin kau akan terlihat ayu










Puisi fiksi ini ditulis untuk menggambarkan di masa lalu ritual pemotongan rambut gimbal di lereng gunung Merbabu. 
Diajukan untuk lomba menulis pada 15 Desember 2012 di Tulis Nusantara -- tidak lolos :)
Read More »

22 Februari 2013

(saling) Mengingatkan Itu Lebih Baik

 

    Pernah kan tiba-tiba lupa menaruh sesuatu?
    Kalau saya sih pasti jawabannya PERNAH BANGET geeetooo :)  Dari sekian banyak aktivitas yang tidak saya sukai, salah satu yang menduduki ranking pertama adalah "mengingat-ingat". lho, kenapa bisa begitu?
    Sebelum menjawab, ayo kita lihat pada peragaan berikut ini (walah, malah kayak siaran praktikum fisika aja).
Read More »

02 Februari 2013

Granny Tilang


Lagi pengin nge-share nih cerita ibuku beberapa waktu lalu. Saat itu kami lagi jagongan dan cerita asyik banget sampe ngakak ngikik ngukuk. Dari A nyampe Z kami terpingkal-pingkal bersama. Begini nih ceritanya. 

Ib (panggilan mesraku ke ibunda tersayang) tuh ya luaaarrr biasa. Dari muda udah biasa susah. Sampai sekarang juga masih susah gara-gara aku hehehee...enggak enggak. Sekarang beliau sudah sangat menikmati masa tua. Happy dengan berbagai kegiatan di komunitas lansia dan pengajiannya.

Trus apa yang luar biasa dari kegiatannya itu? sound usual eh? 


Sepertinya begitu... but wait, untuk berkegiatan saban hari itu, terpikirkah bagaimana cara beliau bisa nyampe ke tempat kegiatannya. Pake supir? no no noooo, meh mbayar supir pake daun-daun kering? Naek taxi? no way kata beliau, borooosss, ngentek-ngentekke pensiun hehehee... Trus kepriben lah?

Saban kali mau 'tindak' Ib masih setia memakai *maaf sebut merk* Astrea Star tahun jebot, yang kadang-kadang suka terbatuk-batuk kalau telat servisnya. Padahal Ib 'yuswa'ne sudah 70 tahun loh. Masih banyak kah nyai-nyai berusia segitu yang have guts to drive motorcycle

Anaknya kale ya yang sableng, emaknya udah tua malah dibiarin pergi2 ndiri. Lha pripun, Ib diminta untuk mengurangi kegiatan juga belum 'kerso'. Setiap kali mau dianterin juga malah 'duka' n say "Lha po aku ki wes jompo ndadak diterke rono rene?" 

Yaelah mom, it's bekaus oblong lah, eh, it's because we love you more than anything else *srooottt...ngelap ingus 


Sungguh luar biasa daya juang mami gw ya cuyyy....

Nah, dari beberapa kali perjalanan beliau mengendarai her old luvly motorbike, sempet juga loh beliau kena tilang. Tapi cerita ketilangnya sungguh menakjubkan.


Yang pertama, Ib ikut-ikutan beberapa anak muda pengendara motor, yang meskipun lampu bangjo sudah berwarna kuning tetap nekad melaju. Eh, nggak nyampe deh, sepersekian second Ib akhirnya terpaksa berhenti dan udah nglewati marka putih, tentunya masih bersama rombongan anak-anak muda tadi. Jadi deh kegaruk pak polisi. 

Yang diurusin pak polisi tentu saja yang muda-muda duluan, ditilang deh satu-satu. Giliran jatah Ib yang kena tilang, pak polisi ngecek segala SIM dan STNK namun dengan pandangan ragu-ragu. Diserahkanlah tuh surat-surat ke orang lain –kemungkinan atasannya- sambil bisik-bisik dan nunjuk my mother yang sedang H2C. Ib terus dipanggil ama bapak yang kemungkinan si atasan itu, diberi beberapa pertanyaan, kenapa ngelanggar traffic light. 

Bergaya disantai-santaiin Ib jawab, “Lha mboten ngertos pak, tadi saya cuma ngikut anak-anak muda itu, kirain ya masih hijau lampunya. Eh, ternyata udah merah to.” Hehehee…pede abis ya emak gw. Lantas terjadilah dialog berikut : 

Polisi : Saya tilang nggih Mbah (dalam kondisi normal, Ib paling benci dipanggil mbah hehehe…berhubung ini kondisi rawan, beliau rela dipanggil apa pun). Saged nderek sidang to (bisa ikut sidang kan) ?

Ib : Waduh, lha saya sudah tua pak, di rumah sendirian, sapa yang mau nganterin nanti? (bwahahaa….bisa aja nih alesannya)

Polisi : Wah, lha dospundi? (muka galau)

Pak polisi atasan itu pun memanggil anak buahnya tadi dan berbisik-bisik. Ib pun sudah persiapan, pegang dompet dan siap-siap bayar uang damai. 

Polisi : Mpun Mbah, itu dompetnya dimasukkan saja, sudah tidak usah dibuka-buka. Sana mbahe bilang terima kasih sama bawahan saya itu. Silakan mbah melanjutkan perjalanan. Lain kali jangan diulangi lagi ya Mbah

Hehehee…lolos kan emak gue.

Itu cerita tilang pertama. Yang kedua nggak kalah asyiknya loh. (dosa banget nih anak, emaknya kena tilang malah dijadiin obyek cerita huhuuu…). 


Ib tindak melewati jalur pasar burung, tepatnya pas setelah nglewatin traffic light Jalan Kartini yang akan menuju Kampung Kali. Nah, setelah traffic light itu ada cegatan alias operasi. Semua motor yang lewat dipinggirkan oleh polisi. 

Seperti biasa, tiap pengendara diharap menunjukkan surat-suratnya. Tiba giliran emak gue nih, yang dengan pede membuka dompet, namun beberapa detik kemudian langsung menyadari bahwa STNKnya ketinggalan.

Polisi : Mana bu surat-suratnya?

Ib : Ada nih pak, tapi STNKnya ketinggalan. Ntar ya pak saya balik dulu, mau ambil.

Polisi : Lho bu, nggak bisa. Berarti ibu tidak bawa surat-surat lengkap kan?

Ib : Lengkap kok pak, surat saya lengkap. Saya yakin banget STNK ketinggalan di meja. Saya ambil dulu lah. Tenang saja pak, nanti saya lewat sini lagi kok. Nanti saya tunjukkan ke bapak.

Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut dari pak polisi itu, Ib segera kembali melaju dan putar haluan. Pak polisi pun bingung, mau diapain nih nyai. Semisal dia ngotot, kok ya gak elite banget ngelawan nenek-nenek. Dilema ya pak? Hihihiiii….


OMG, masih ada lagi loh cerita ketilang ini. Yang ini paling parah kasusnya. Ib dari arah simpang lima, sudah nyampai Jalan A. Yani. Pada jam-jam kerja, ruas jalan dari A. Yani yang akan menuju Majapahit memang ditutup, dijadikan 1 arah saja menuju barat. Jadi kalau dari Simpang Lima, setelah perempatan mBangkong itu memang harus belok kiri, harus muter Sidodadi dulu untuk menuju Majapahit.

Nah ini my lovely mom tiba-tiba punya ide. Merasa jalanan sepi, kenapa enggak tetep lurus aja, ngapain pake belok-belok segala. Walhasil, begitu sampai di traffic light berikutnya (pos MILO / SMP2) beliau dicegat deh ama pak polisi.

Polisi : Ibu tau kan kalau tadi dilarang lewat jalur sini? Jam segini kan masih ditutup?

Ib : Wah, ya saya nggak liat to pak, saya kan dari RS. Bunda, jadinya ya enggak liat tanda ditutupnya (just fyi, memang RS. Bunda terletak di sepanjang ruas jalan yang sedang ditutup itu. Jadi logikanya kalau memang beneran dari RS. Bunda, ya memang tidak ngelewati tanda forbidden non-permanen tadi)

Polisi : (tampang bengis sambil ngeliat segala surat-surat punya ibuku) Ini pekerjaan ibu pensiunan, pensiunan apa Bu?

Ib : Guru, Pak.

Polisi : Ibu ini ya, pensiunan guru kok tidak ngerti aturan. Ada tanda dilarang lewat kok tetep nekad.

Ib : Saya nggak tau pak, bener, coba kalau tadi saya lewat di depan tanda itu, pasti yo nggak bakal ngelanggar. Bener deh pak.

Polisi : (muka mau kendhat) Ya sudah sana bu, jalan lagi. Awas ya kalau lain kali ketemu

Ib : (berbicara dalam hati : Ra bakalan aku meh lewat kene meneh Dul)

Oh ibuku sayang, aku aja belum tentu berani beradu mulut ama pak polisi kayak gitu lho. Kenapa mental bajamu itu tidak kuwarisi ya?hiks. 







Read More »