24 Desember 2015

Menjadi Teman Curhat yang Menyenangkan



"Gue butuh curhat...."

"Kalau enggak kuomongin bisa jadi gila nih aku."

"Bisa dengerin saya sebentar nggak, atau mendingan saya bakar saja semua kenangan ini?"

Pernah nggak sih menemukan kalimat di atas dalam kehidupan kita sehari-hari? Ada orang yang sudah begitu penuh jiwanya sehingga membutuhkan tampungan untuk luapan keresahannya. Terdengar begitu berlebihan kah?

Semula aku menganggap ini terlalu berlebihan. Manusia kan punya Sang Maha Pencinta yang siap menampung segala pengaduan yang kita miliki. Kenapa juga harus pusing mencari teman untuk mengadukan permasalahan kita.

Rupanya pengetahuanku tentang psikologis manusia masih cetek banget. Perempuan nih ya pada umumnya, amat membutuhkan teman untuk berbagi. Di web womansnewlife.com yang pernah kubaca bahkan disebutkan seperti ini :

When you’re feeling despondent, your mind has a hard time being objective. Isolating yourself is not the answer. At this time, it is important to communicate with a trusted person, ideally, an objective and trained professional. 

Pada kenyataannya, tak semudah itu mencari orang yang terlatih secara profesional hanya untuk mendengarkan keluh kesah kita. Siapapun yang ada di dekat kita biasanya ya itulah yang menjadi tempat curhat. Tentu saja faktor 'trusted person' tadi menjadi pertimbangan utama, meskipun yaaaa... akhirnya kalau sudah tak kuat menahan beban siapa saja bisa jadi sasaran curhat. Eh bukan siapa saja, lebih tepatnya apa saja.

Tau kan kalau sekarang banyak sekali yang hobi curhat di media sosial. Padahal sejatinya bercurhat dengan metode ini sangat rawan. Mungkin saja ada yang benar-benar berniat membantu dengan memberikan saran, namun banyak juga kan yang justru menjadi kepo dan menelusuri sampai kemana-mana. Jadi akhirnya bukan solusi yang didapat, namun ketenaran dalam sisi 'yang lain'.

Lalu kenapa ya kok ada yang gemar bercurhat di sosial media? Tak adakah teman, sahabat atau keluarga yang mau mendengarkan?

Lebih enak bicara dibanding mendengarkan


Well... sudah pernah mencoba menjadi pendengar yang baik?

Aku pernah loh punya teman yang bicaranya bagaikan deritan roda kereta api yang tiada henti. Sambung menyambung dan tidak memberikan kesempatan kepada lawan bicaranya untuk ikutan berderit. Bahkan saat tercipta jeda dan lawan bicara ganti mengemukakan kata-kata, dia akan melanjutkan deritannya tadi yang terjeda tanpa sama sekali menghiraukan apa yang baru saja dikatakan lawan bicaranya.

Memang lebih enak bicara kan daripada mendengarkan?

Satu lagi sumber bacaan yang kudapat di  psychologytoday.com yang mendukung asumsiku ini. Di sana dibahas tentang bicara versus mendengarkan. Proses mendengarkan dianalogikan melalui gambaran bahwa pemikiran kita ibarat modem. Saat modem terisi penuh dan tidak bisa melakukan transmisi data keluar maupun ke dalam alias nge-hang, apa yang kita lakukan? Matikan, diskonek, tunggu beberapa saat, sambungkan lagi ke komputer dan koneksi internet, baru nyalakan kembali.

Salah satu alasan utama orang tidak bisa dan tidak ingin mendengarkan (dan lebih memilih bicara) ya karena adanya resiko nge-hang seperti modem itu tadi. Misalnya nih ya pikiran kita sudah sumpek dengan problem pribadi, eh masih ditambahi dengan masalah orang lain yang dicurcolkan ke kita, apa jadinya coba? Pada dasarnya mendengarkan termasuk fungsi sensorik. Ketika otak dan sirkuit kita kelebihan beban, maka tak ada ruang lagi bagi hal-hal lain yang bisa masuk ke pikiran kita. 

Berbeda dengan mendengarkan, berbicara termasuk fungsi motorik dimana setelah melewati 20 detik pertama, maka yang dihasilkan adalah lepasnya beban berat yang menindih. Legaaaa... Aktivitas ini membebaskan ruang di sirkuit otak kita. Gantian deh sirkuit si pihak pendengar yang ketambahan muatan ;)

Teman curhat yang menyenangkan


Kebetulan sekali aku termasuk tipe orang yang pelit sekali membagikan kelebihan sirkuit otakku ke orang lain. Kalau membagikan pose-pose narsis di sosmed sih memang udah bawaan sejak bayi ya hihihiii... Dalam keseharian aku justru cenderung berperilaku galak dan antagonis. Enggak di pergaulan, enggak di kantor, banyak orang yang takut dan jiper in the first sight. But guess what? Lebih dari separuh teman-teman di kantor rela membagi kelebihan beban sirkuit mereka itu kepadaku, bahkan yang paling privacy sekalipun.

Haduuuhh... entah kenapa semua ini terjadi :)  Mungkin sudah berkah dari Yang Maha Kuasa ya kalau hidupku lurus-lurus saja dan tak banyak beban, jadi yang lain dengan ikhlas menyumbangkan beban pikiran itu kepadaku. Love you, my friends ;)

Sebenarnya bukan soal diriku yang jadi tempat buang sampah alias curcolan nih yang mau kubahas. Hanya saja berdasarkan pengalaman mendengarkan dan menjadi pendengar yang baik, akhirnya kutemukan bahwa untuk menjadi teman curhat yang menyenangkan, perlu hal-hal sebagai berikut :
  • Dengarkan saja dulu curhatan teman, komentar belakangan saja, karena orang curhat itu yang dibutuhkan adalah untuk didengar, bukan untuk mendengar balik cerita kita.
  • Empty your space first, please... Saat kita memiliki ruang kosong di sirkuit otak kita, maka kita akan lebih mampu mendengarkan orang lain berbicara.
  • Dukunglah teman dengan kata-kata yang positif, bangkitkan kembali semangatnya, hindari memarahinya karena hal tersebut bisa melukai hatinya. Kan lagi sensitif tuh butuh curhat, masak malah diomeli ;)
  • Simpan rahasia pribadi yang terkandung dalam curhatan tersebut, tak perlu menjadikan diri kita yang terhebat dengan menjadi stasiun radio terpopuler di kalangan teman-teman, if you know what I mean :)
  • Berikan alternatif solusi bila si pelaku curhat memang membutuhkannya. Kalau sekedar ingin menangis untuk melepaskan beban ya temani saja dulu, pegangan tangan yang menguatkan dan elusan lembut di bahunya sudah cukup menenangkan. Ingat, jangan lakukan hal ini kalau teman curhatmu itu lawan jenis ya, bahaya loh kata nenek. 

Menjadi pendengar dan mendengarkan dengan seksama itu ternyata melatih kepekaan hati. Kita tak hanya melulu memikirkan masalah kita sendiri. Memang ada resiko sirkuit kita jadi overload gara-gara ketambahan beban milik orang lain. Tapi yakin deh, seiring dengan seringnya kita melatih kelenturan sirkuit otak, mendengarkan menjadi hal yang amat menyenangkan. Paling tidak kamus problematika kehidupan kita makin bertambah dan jadi makin bersyukur karena kita masih berada dalam level kesulitan yang jauh lebih ringan dibandingkan orang lain.

18 komentar:

  1. Siap-siap ya mbak, aku lagi butuh teman curhat nih :) biar gak stress. Jadi pendengar yg baik emang lebih susah harus ada kesabaran

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hayuukk silakan curhat sini, tagihannya per menit loh ya :))

      Hapus
  2. Siap-siap ya mbak, aku lagi butuh teman curhat nih :) biar gak stress. Jadi pendengar yg baik emang lebih susah harus ada kesabaran

    BalasHapus
  3. Mbak aku siapin telinga buat curhatmu. OK call aku when you need ya. Qiqiqi :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaa...ntar kasian sirkuitmu jebol loh mba, siap?

      Hapus
  4. widiiihh... si antag tapi punya branding kaya perusahaan asuransi nih, always listening always understabding. :p sipsip, nanti aku curhat boleh yaa

    BalasHapus
  5. Wah kalo saya lebih sering curhat dalam bentuk tulisan analogi mbak. Setidaknya dengan cara itu keluh kesah bisa sedikit banyak tersampaikan :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, ini perlu dicontoh nih. Pecahkan saja kacanya....biarkan abjad2 yg bicara *udah berasa kyk Cinta n Rangga

      Hapus
  6. Mau curhat apa sih mbak? Kok kayaknya galau banget :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaa Melly ih, yg curhat kan bukan aku... minta disetrap yak :p

      Hapus
  7. Mau curhat maak soal uang, solusinya dikasih duit ya sama Mak Uniek, hihihi

    BalasHapus
  8. aku suka jadi pelacur mak, pelayanan curhat, haha

    BalasHapus
  9. Aku suka dijadiin tempat curhat juga mak, suka ngasih-ngasih solusi padahal diri sendiri juga butuh tempat curhat hohoho. Curhat ke emak boleh? hehehe. Tapi seneng juga sih dijadiin tempat curhat, karena artinya dipercaya buat nyimpen rahasia orang lain dan setuju sama kalimat terakhir emak : "kamus problematika kehidupan kita makin bertambah dan jadi makin bersyukur karena kita masih berada dalam level kesulitan yang jauh lebih ringan dibandingkan orang lain."

    BalasHapus