25 Februari 2013

SENANDUNG GIMBAL DI KAKI MERBABU




Sejuk Udara wangi pagi

Kuhirup dalam-dalam bersama embun berseri

Saat kutatap cadasnya mega

Gagahnya jajaran bukit perkasa



Ya, kemari kau wahai angkuh

Tak tau kah kau aku sudah siap merengkuh

Bau surgamu yang kian terasa

Menjalar di segenap nadi sendiku

Menantang

Melawan golakan penolakan



Carrier seratus literku yang gagah perkasa

Si hijau setia yang selalu menemani langkahku kemana-mana

Kusentuh lembut sayap-sayap cintamu oh kekasih

Walau hanya sebentuk tas ransel kucel yang terhina

Kau tetap cintaku tiada tara, oh carrier seratus liter



Helaan napas rekan sejawat

Mengiringi perjalananku bersamamu oh carrier seratus literku

Derap perkasa tak kenal lelah

Terus membahana, sahut menyahut, bak titir banjir yang amuk mengalir

Sepatu, sandal gunung, boots, saling menjaga beriringan

Mengawal tuan dan nyonya majikannya

Yang sedang mengejar ambisi taklukkan puncak gunung syahdu



Merbabu

Tak ada keraguan lagi aku padamu

Julangan mancung puncakmu

Yang tiada henti memanggil-manggil pasukanku

Untuk terus menuju ke pangkuan perkasamu

Carrier seratus literku

Tau kah kamu wahai kekasihku

Kubawa serta kau dalam pendakian indah ini

Tak hanya sekedar berbasa-basi dengan si Merbabu ayu perkasa

Kuandalkan kau dengan segenap jiwa

Bantu aku untuk segera bertemu si puncak idamanku itu



Sorga, sorga terasa untuk kami semua

Saat bisa memandang ikalnya awan dari puncak Merbabu perkasa

Carrier seratus literku sayang

Lihat, apakah ikal itu sama dengan geraian hitam rambut gadis Mada

Ya, betul, si Mada gadis cilik yang tadi kita temui di perkampungan sana

Di Thekelan kaki gunung Merbabu

Ingat kan hei Carrier seratus literku sayang?



Gadis legam berkulit kusam

Berambut ikal, oh tidak, lebih tepatnya disebut gimbal

Kenapa tak kunjung kau sisir rambutmu wahai Mada?

Sebegitu sulitkah kau dapatkan sisir di desamu sana




Tlepak


Carrier seratus literku menampar lamunan

Aku tergelincir karena terlalu banyak permenungan

Tapi ingatanku tak kunjung bisa lepas dari bayangan Mada




Gadis cilik legam berkulit kusam

Berapa umurmu wahai bocah misterius?

Tiga? Empat? Ataukah lima?

Sungguh tak jelas berapa usiamu sekarang

Bentuk dan ukuran tubuhmu begitu rata-rata

Rata-rata kecil atau rata-rata besar?


Ah, entahlah

Lebih baik kukata kalau kau berumur lima

Salah pun tak akan ada yang menampar



Tlepak tlepak


Eh, kali ini bukan Carrier seratus literku yang menampar

Juluran dahan-dahan pepohonan rindang di jalan menurun ini

Yang sok akrab menyapa wajah lelahku


Pedas


Perih


Kenapa sih dahan itu tak tau sopan santun

Tak tau ya kalau aku sedang merindukan Mada

Gadis kecil berwajah muram dan berambut gimbal itu




Apa dosamu wahai adik kecil

Kenapa orang tuamu begitu malas menyisirmu

Jorok sekali penampilanmu

Gimbalmu menggelayut berat di seputar bahu ringkihmu




Tapi Mada,

Kenapa kau terlihat begitu pongah di situ

Di antara anak-anak lain sebayamu yang berambut normal

Merasa istimewa kau Mada ?




Kudengar dari bapak tetua desa

Kau sudah mulai mampu bersenandung memaksa

Minta pada kedua orang tuamu berbagai sajian

Untuk ritual potong rambutmu

Sudah berapa lama kau seperti itu Mada?




Kudengar dari bapak tetua desa

Sejak lahir kau memang berbeda

Bagaikan ratu yang menghela dosa ke semua penjuru mata angin

Kau tiupkan wabah pemujaan terhadap keanehan rambutmu




Bapak tetua desa pun berkata

Kau hanya boleh dipotong rambut

Bila kau sudah memintanya

Keriuhan syarat yang kau ajukan

Tak boleh tertolak demi terhindarnya kutukan pada keluargamu

Juga desamu




Percaya pada hal magis seperti itu?

Bisa ya, bisa juga tidak

Tak ada untungnya mau percaya atau pun tidak





Tlepak


Kali ini sandal gunungku yang basah keringat

Membuatku terpeleset

Sejengkal sebelum kujejakkan kaki di depan rumah Mada

Ya, penginapan para pendaki gunung yang kini kukunjungi

Memang berada tepat di depan gubuk Mada

Gadis kecil berwajah muram dan berambut gimbal




Riuh rendah suasana di depan rumahmu Mada

Ada apa?

Rupanya akan ada pesta ya?



Bapak tetua desa pun kembali berkata

Hari ini permintaanmu akan dituruti

Seekor kerbau seperti permintaanmu yang risau

Telah dihadirkan orang tuamu untuk ritual potong rambutmu

Seonggok uang jerih payah berbalut hutang

Terpaksa mereka hadirkan untukmu hai gadis kecil berambut gimbal




Kerumunan para pendaki gunung dan turis manca

Mulai memadati halaman rumahmu

Rupanya ritual potong rambutmu

Telah membuat mata mereka kelu

Begitu juga dengan aku

Takjub ku padamu wahai Mada-ku

Bagaimana nasibmu nanti setelah hilang mahkota gimbalmu

Aku hanya berharap kau tetap akan terus merayu

Mengumandangkan senandung gimbalmu

Walau nanti mungkin kau akan terlihat ayu










Puisi fiksi ini ditulis untuk menggambarkan di masa lalu ritual pemotongan rambut gimbal di lereng gunung Merbabu. 
Diajukan untuk lomba menulis pada 15 Desember 2012 di Tulis Nusantara -- tidak lolos :)

9 komentar:

  1. suka bagian "kemari kau wahai angkuh"

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Terima kasih, Zen. Aku baru belajar nulis yang seperti ini :) biasanya lebih suka nulis yang lucu2. Oya saya udah follow blognya Zen, sila join blog saya ya. thks

    BalasHapus
  4. Wow, aku durung iso nggawe puisi, je

    BalasHapus
  5. hehee... iku puisi ya Wuri? aku cuma kira2 saja
    thks sudah mampir :)

    BalasHapus
  6. hehehe....mas Luluk tau aja deh :)

    BalasHapus
  7. dowoneeeeeeeeeeee...:D :P
    mengko kita obrolkan saja isinya pas bisa muncak kmana gitu yak...
    *tetepedisingejakmuncakbareng* :D

    BalasHapus
  8. walaaahh ketauan Bunsal pasti enggak baca kan? ;)
    dowone belum seberapa dibandingkan pjalanan menempuh Marabunta pp loh :D

    BalasHapus