20 Maret 2013

My Lovely Inseparable Coffee

sumber : blog ini
Semerbak aroma kopi kental sungguh membuai diriku saat langit alam raya menjadi atapku. Di kesunyian malam berhiaskan ribuan bintang dan terang benderang purnama, aku dan belasan sobat pendaki gunung kian mengakrabi sendunya gulita, menangisi kebahagiaan bersama dan mentertawai duka lara kami semua. Eratnya persahabatan kami tak terpisahkan, bahkan setelah terpaan rasa lelah mendera perjalanan jauh kami menuju puncak gunung nan damai ini.
Malam bukan lah waktu yang tepat untuk tidur, Sobat. Kegelapan nan indah memukau itu hanya pantas dinikmati. Bersama dengan sobat-sobat karibku, aku duduk dalam kedamaian, diiringi lantunan gitar, juga diriuhkan oleh obrolan ceria. Cerita tentang tujuan petualangan kami berikutnya lah yang kian ramai menggelora.

'memanggang' kopi

Kering tenggorokan yang terlalu bersemangat bercerita seketika luruh dengan hadirnya kopi hitam kental. Bukan diseduh di atas api. Di dalam nyala api unggun itulah air, kopi dan sedikit gula dijejalkan langsung, berwadahkan cangkir seng bertutup. Aku dan sobat-sobatku memang lebih menyukai ‘kopi klothok’ ala adventurer ini. Wow, sensasinya luar biasa, saat cangkir panas ditarik keluar dari dalam bongkahan api unggun. Perlu extra hati-hati saat aku harus menyentuh permukaan tutup cangkir yang telah membara itu. 
Uap kopi yang harum dahsyat seketika menamparku. Tetapi harus waspada, Sobat, bila tak ingin esok hari bibir dan lidah kelu terpanggang, sebaiknya seruput pelan-pelan saja kopi nikmat ini. 

Ya, belasan tahun yang lalu, saat aku masih sering berjalan-jalan di alam bebas, entah itu mendaki gunung, memanjat tebing, menelusuri gua ataupun menyelam, kopi hitam kental adalah teman akrabku. Kopi mix tak ada dalam kamusku. Kurang jantan (lha aku kan memang bukan jantan). Lebih tepatnya karena faktor pengiritan sebenarnya heheheee… sebungkus kopi hitam cukup untuk menemani belasan orang dalam satu kali trip.
Setelah tak lagi bepergian ‘pecicilan’ seperti dulu, aku mulai menggemari berbagai varian kopi. Aneka kopi instan pun mulai akrab menemaniku. Mulai dari ‘kejar tayang’ skripsi, dimana aku harus sering melek malam agar bisa konsultasi besok paginya. Hingga saat sudah bekerja, kopi tak pernah ‘berkhianat’ padaku, selalu setia ‘nongkrong’ denganku yang sedang penat luar biasa lembur di rumah untuk menyelesaikan entry data yang menggunung, yang esok harinya akan dipergunakan untuk audit dari berbagai instansi terkait. 
si kopi cantik
Sampai kini aku masih terobsesi ingin menikmati kopi cantik. Apa itu? Kopi ala kedai-kedai kopi ternama yang menghidangkan kopinya dengan kecantikan luar biasa seperti ini. Sungguh keren, duduk di kafe, menulis aneka naskah, sendirian, ditemani si kopi cantik ini (khayalan kelas tinggi). Tetapi heran juga aku, bagaimana mau menikmatinya ya, kalau menyentuhnya saja 'eman-eman' hihihiii.... Halah, kembali ke selera asal aja lah.


 Namun entah apa yang kemudian terjadi pada mekanisme tubuhku. Aku kini tak lagi bisa menikmati sedapnya kopi. Kopi apa pun. Bermula dari puasa kopi saat aku hamil anak pertama hingga selesai masa menyusui. Sekitar hampir dua tahun lah puasa kopi ini. Begitu ingin kembali menyesap nikmatnya kopi, bukan ‘heaven’ yang kudapat.

Jantungku berdegup kencang seperti habis ikut lari marathon. Duh, kenapa pula badan ini. Ah, kupikir paling-paling karena kaget minum kopi, kan sudah lama ‘pisah ranjang’ heheheee… Tetapi setelah berjam-jam, setengah hari, lewat tengah malam, bahkan hingga esok hari, deburan kencang di dada tak juga padam. Sungguh suatu pengalaman yang sungguh menyakitkan. Ini ‘noda’ terbesar dalam ‘persahabatan’ku dengan si biang caffein ini. Bagaikan di-detox paksa, aku pun menyerah seketika. Kurelakan engkau pergi dari aliran tenggorokku wahai kopi tercinta (ih, kayak apa aja deh ya).

Setahun belakangan ini, aku asyik belajar menulis setelah bergabung dengan beberapa komunitas menulis di dunia maya. Ah, waktu seakan berlari begitu lama saat ingin berkonsentrasi mewujudkan setitik tulisan. Sebenarnya paling mantap kalau menulis ditemani kopi tercinta. Tapi apa daya, ragaku telah menolaknya dalam aliran darah.
lulur kopi
sabun kopi
  Aku tak pantang menyerah. Bila aku tak bisa lagi meminumnya, tak apalah. Toh aroma kopi masih bisa kunikmati dengan cara lain. Berbagai perawatan tubuh di masa kini kan sudah banyak yang menggunakan bahan dasar kopi. Kali ini aku yakin, aku tak mungkin deg-degan lagi. Ya iya lah, masak sabunan dan luluran pakai kopi bisa deg-degan hehehee.....  Jadi deh sepanjang hari tubuhku beraroma kopi. Hmmmm.... it's really an energizing aroma therapy. Suka banget deeehhh
Di kantor dan di rumah aku selalu bersanding dengan produk beraroma kopi kesukaanku, body cream dan body mist (merk tidak diperlihatkan ya, jadi ini bukan promosi heheheee...). Terkungkung di ruang kantor ber-AC sepanjang hari membuatku tak bisa berkeringat sebebas dulu lagi. Jadi untuk mendapatkan kelembaban aku harus menggunakan produk ini saat kulit terasa kering nian. Dan saat di rumah, saat anak-anakku sudah terlena dalam mimpi, aku bisa asyik sendiri berkutat dengan aneka tulisan (baik itu bikin tulisan untuk event penerbit, event GA, jualan onlineku, fesbukan maupun nge-blog). Meskipun bersanding dengan minuman hangat sesuai pertumbuhan usia (hehehee...mau bilang minum jahe anget aja koq malu), namun aroma kopi yang berasal dari sabun dan mist yang kugunakan, tetap tak tertandingi oleh dinginnya malam dan beratnya kantuk yang melanda. 

Jadi wahai kopi tercinta, jangan putus asa, jangan mudah menyerah. Kita tetap akan dipersatukan, meskipun dalam wujud dan kesempatan yang berbeda. Janji ya kita tetap akan setia, Kopiku sayang :) 


*Catatan mabuk kopi *

tulisan ini diikutsertakan dalam GA Lisa Gopar
Lomba Menulis Artikel "Penulis & Kopi"






12 komentar:

  1. ya Allah, kamu pernah muda mba ?? #pangling

    BalasHapus
  2. Hahaha... dulu aku juga pecinta kopi. Tapi hampir lima tahun ini berhenti minum kopi hitam karena lambung yang bermasalah.
    Tulisannya menarik, mengalir, kereeen.... :)

    BalasHapus
  3. Ipoet : takblokir lho gapura meh mlebu omahmu yen ngece xixixiii.... thks yo udah mampir

    mak Wati : suwun udah mampir n komen, inilah cerita disapih paksa dari kopi jiahahaaaa....

    BalasHapus
  4. Ooo, begitu ceritanya ya Mbak, jadi tidak "sobatan" lagi sama kopi, tapi masih bisa menikmati aroma kopi yang memang gak ada duanya ya, tulisannya apik, runut, semoga berjaya di GA ini ya :)

    BalasHapus
  5. hehehee... iya nih mba, aku 'diputus' paksa dengan kopi tercinta ;) padahal sukaaaa baanget

    BalasHapus
  6. Terima Kasih Partisipasinya :)
    GOOD LUCK!

    Salam,
    Lisa Gopar

    BalasHapus
  7. matur nuwun mba Lisa untuk kesempatan berpartisipasinya

    BalasHapus
  8. wahhh dulu anak repala ya ... saya gak dibolehin Mama ikutan beginian >.<

    kopi emang 'teman' yang seru yaaa...
    semoga sukses ikutan GA-nya

    salam manis,
    argalitha.blogspot.com ^^

    BalasHapus
  9. salam kenal ya Arga Litha.... segera meluncur deh ke blog mu ;)

    BalasHapus
  10. salam kenal mbak aku di Blok E....sudah tau tho? Like kopi juga...wkwkwkwk

    BalasHapus
  11. wah Le'e menguntitku ik... Blok E bentar lagi di-line kuning ama bu polisi lhooo...waspadalaaahhh :p

    BalasHapus
  12. Wah perjalanan dari pecinta kopi sampai stop ngopi ....
    Wah .... Sekarang saya baru mulai nyoba kopi2 yang eksotis ....
    Kopi kholotok belum pernah saya coba nih ....

    BalasHapus