Tampilkan postingan dengan label fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fiksi. Tampilkan semua postingan

16 Mei 2014

[FF Cinta Pertama] Semerah Bibirku


Hiks hiks... tangisku berkepanjangan. Nelangsa banget rasanya.

Kau sungguh membuatku terpukul. Shocked. Tak kusangka kau akan seganas itu.

Kupandang bayang diri di cermin. Rambutku awut-awutan, muka kusut, wajah pucat dan kuyu. Benarkah itu aku? Atau hanya anganku saja yang melampaui imaji? Lebay to the max gitu?

Sudah sejak lama aku memang ingin berkenalan denganmu. Kehadiranmu selalu membuatku terpesona. Ada keinginan luar biasa dari diriku untuk bisa menjamahmu. Yah, perkenalan dengan sedikit romansa manis lah kalau orang dewasa bilang.

Pandangan tajam mama selalu membuatku urung untuk berkenalan denganmu. Hmm.. mama memang  terlalu. Protektif luar biasa. Tak diijinkannya aku untuk sekedar menyapamu.

Tapi....tapi kemarin merupakan hari yang luar biasa. Mama tak ada di rumah. Hasratku terasa bergejolak untuk bisa berdekatan denganmu. Inikah yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama? Nyatanya meskipun mama luar biasa melarangku, tapi hatiku tetap padamu.

Luar biasa berdebar aku saat itu. Dag dig dug, bagaimana ya rasanya perkenalan pertama dengan kau yang begitu kuiinginkan. Dag dig dug takut ketauan mama. 

Hiks, aku jadi menangis penuh penyesalan kini. Kau sungguh keterlaluan. Kaurenggut indahnya dunia setelah kusentuh dirimu. Kaulumat habis-habisan bibir merahku yang mungil ini. Berikutnya... berikutnya tak sanggup lagi kulanjutkan.

"Mama bilang juga apa? Dari dulu sudah dikasih tau kan, jangan sekali-sekali mencoba. Sekarang apa coba akibatnya? Mama juga kan yang harus menanggungnya. Merawatmu, membawamu ke dokter, mendengarkan tangisan dan rengekanmu itu."

Mama marah luar biasa padaku. Aku hanya bisa meringkuk di ranjang sembari memegangi tubuhku yang lemas, perutku yang sakit luar biasa akibat perkenalanku dengan si cinta pertama itu.

Menyesal. Ampun Maaaa.... Hanya itu yang berulang kali kuucapkan pada mama. Tak sanggup kulihat lagi si dia yang merah membara itu, semerah bibirku yang panas dan tercabik setelah kejadian itu.

"Anak kecil suka ngeyel sih. Tunggu barang beberapa tahun lagi kenapa. Pasti kamu akan tahan. Nggak diare terus kayak gini," sungut mama sembari mengangsurkan obat diare kepadaku.

Sambal terasi celaka. Gara-gara jatuh cinta padanya, kini perutku tercabik-cabik sempurna. Nyeseeel... nyeselll banget. Kurasa ini cinta pertama dan terakhirku. Aku tak akan makan sambal lagi :(


note : pinjam gambar bibir dari klikcara.com
Read More »

13 Mei 2014

Demam M35

"Mak, kapan aku dibelikan hape siy? Itu terus yang kauucapkan dalam tidurmu, Ni. Badanmu meriang panas dingin ini kenapa?"

Pertanyaan emak terasa gaduh di kepalaku yang sedang pusing tujuh keliling ini. Sisa demam semalam masih berasa nempel di badan. Kepala pusing, tulang-tulangku serasa mau lepas, mata perih. Dan lapar.

http://www.thaimobilecenter.com/spec/images_mobile.asp?id=830
Rossie teman sekolahku suka sekali pamer hape barunya. Njengkelin. Tapi hapenya memang manis banget. Warnanya paduan hitam dan kuning nyether. Tadinya aku sirik banget, kubilang ke semua orang kalau hape punya Rossie itu ndesit, terlalu mencolok, pokoknya norak gitu lah.

Eh nggak taunya aku malah termimpi-mimpi pengin banget punya hape model begitu. Ya iyalah, melihat teman-teman pada kagum dengan hape kuning itu hatiku jadi berontak. 

Rossie memang gampang sekali mendapatkan apapun yang ia mau. Tak sepertiku yang harus bersusah payah memohon-mohon pada emakku. Emak yang buruh cuci dan seterika di kampung, mana kuat beli hape gitu. "Ani, mana kuat mak beli hape itu? Nanti kita makan apa Nduk kalau uangnya buat beli hape?" Nelangsa deh. Padahal aku pingiiiiin banget. Kan keren tuh bisa punya hape itu. Siemens M35, yang punya Rossie itu M35i, nggak tau juga 'i'nya itu apa. Mungkin idiiiih banget ya. Warnanya itu lho nggak ku ku.

Kalau aku sih suka dengan M35 yang versi macho. Warnanya gabungan abu-abu dengan hitam. Jauh lebih keren kan dibandingin yang kuning itu. Coba kalau nanti aku sudah punya, aku akan adu bagus-bagusan ringtone dengan Rossie. Hmm.. dia cuma bisa bikin ringtone berbunyi soundtrack Unyil. Apaan tuh :(

Kuputar otak bagaimana caranya agar emak mau membelikan. Memaksanya terang-terangan jelas tidak manusiawi. Maka seharian kemarin sengaja aku jalan kaki sepulang sekolah, kesana kemari tak langsung pulang. Kepalaku sampai terasa pening gara-gara terguyur hujan dari siang hingga sore. Tak kupedulikan baju sekolah dan jaketku basah kuyup oleh hujan. Juga tas dan buku-bukuku. Aku terus saja hujan-hujanan hingga akhirnya maghrib pulang ke rumah.

Walhasil badanku demam sesuai harapanku. Lumayan lah, emak memintaku berbaring. Aku tak harus membantunya melipat baju yang akan diseterika. Tak harus membuat PR. Dan yang jelas malamnya aku menggigil dan mengigau.

"Ni, lihat ini apa yang mak bawa."

Dengan lemas kulihat bungkusan di tangan emak. Tas plastik hitam. Ah paling isinya bubur kacang ijo dan teh tawar. Biasa, emak suka beli sepaket  burjo-tehwar untuk mengganjal perut.

"Lho, dilihat dulu to, kok malah mlengos sih," seru emak gemas. Dibukanya tas plastik hitam tadi.

Wow, hape M35 abu-abu hitam sesuai keinginanku. Girang sekali hatiku. Langsung sembuh rasanya badanku ini. Kupeluk emak dengan suka cita. Rasanya tak sabar besok sekolah akan kupamerkan pada Rossie.

"Nduk, itu hapenya Pak Cokro yang kemarin tak sengaja Mak rendem di cucian. Lha hapenya masih di kantong, mana Mak tau kan. Cucian Mak kan banyak, nggak perhatiin satu-satu. Pak Cokro marah, Nduk, Mak harus ganti hape itu dengan bayaran nyuci Mak di rumahnya beberapa bulan ini. Ya paling tidak kan jadi punya hape baru untukmu." Emak bercerita dengan kalem lalu beranjak untuk melanjutkan acara cuci seterikanya.

Melongo. Kupandang M35 itu. Kucoba hidupkan dengan menekan tombol yang ada gambarnya telpon warna merah. Nggak bisa. Terus bagaimana ini, masak aku harus nenteng hape mati kemana-mana :'(

http://www.istiadzah.com/2014/05/giveaway-cerita-hape-pertama.html




Notes : 
* pinjam foto M35i kuning dari thaimobilecenter
* pinjam foto M35 abu-hitam dari EPMultimedia

Read More »

04 Mei 2014

Shela dan Istana Theklek

Kubawa kakiku melangkah dengan lunglai. Baru saja kutinggalkan kantor pos setelah menempelkan cukup perangko di kartu pos yang terkena banyak noda minyak bekas gorengan.
Aku pasrah, Shela hilang. Maafkan aku.
Ya, Pawit harus tau kabar itu. Bagaimana pun juga Shela itu kesayangannya. Tak ada nyaliku untuk mengirim SMS ataupun menelponnya. Biarlah, lewat kartu pos saja. Semoga nanti sampai di Semarang sana setahun kemudian karena pak posnya lupa memasukkan kartu itu ke tasnya.

Kuseberangi jalan yang padat di siang terik. Hampir tak kuperhatikan lalu lalangnya mobil yang berseliweran di perempatan. Keringat bercucuran dari dahiku, luar biasa panggangan mentari saat itu.

Kutoleh si Manusia Akar yang tak pernah letih berdiri di situ. Ingin rasanya menjadi dia yang tak perlu risau saat kehilangan seperti ini. Tak usah bingung harus mencari kemana dan memberikan penjelasan macam-macam. Kadang-kadang dunia memang tidak adil.

Benteng Vredeburg sudah kulalui. Biasanya aku suka berhenti di sana dan selfie, lumayan untuk bahan update status facebook. Tapi kali ini tak ada minat sama sekali. Aku kepengin segera sampai ke Beringharjo. Mau belikan sate kere untuk mama. Selalu begitu, setiap kali aku hendak jalan ke arah sini, hanya ada sate kere di benak mama. Hmmm... padahal aneka barang ada di Malioboro loh, kok ya cuma sate kere saja yang diingat-ingat.

Tiupan angin yang segar tiba-tiba menghambur di sebelah kananku. Saat aku sedang menoleh ke arah bapak penjual jadah bakar, terpaan angin segar menghampiriku. Aaahh... akhirnya tak jadi aku memperhatikan jadah bakar yang melambai-lambai itu. Istana Theklek lebih menarik minatku. Hawa dingin AC yang menguar keluar bercampur dengan wanginya pengharum ruangan membuatku tergoda untuk mampir.

Bapak penjual jadah itu berjualan di trotoar depan Istana Theklek. Warna dinding depan yang coklat kusam itu seakan berjodoh dengan keriput tua si bapak. Memang, pertama kali saat orang melirik ke Istana Theklek, pasti akan mengira bahwa bangunan itu adalah toko tua tempat aneka theklek dijual.

Tau theklek kan? Itu tuh, kalau orang bilang sandal bakiak. Ya, klompen kayu yang bila dikenakan akan berbunyi tok tok kletek tek teklek... Itulah kenapa sandal kayu itu akhirnya diberi nama theklek. Jaman sekarang mana ada sih yang mau pakai sandal model begitu lagi. Kecuali di tempat ini tentunya. Si theklek itu nangkring dengan manisnya di dinding depan Istana Theklek, dijajarkan hingga membentuk ornamen yang aku sendiri tak paham apa bentuknya. Seperti bunga, tapi kok aneh. Semacam bentuk abstrak yang tak jelas apa maksudnya.

Istana Theklek bukan toko sandal, saudara-saudara. Dia itu cafe dan perpustakaan yang ada di kawasan Malioboro. Konsepnya homey banget deh, berasa di rumah kampung gitu. Untuk orang desa sepertiku, tentunya canggung bila harus nongkrong di library cafe yang bernuansa modern. Perasaan jadi minder deh bila harus berada di tempat seperti itu. Makanya, kehadiran Istana Theklek ini bagaikan sorga dunia untukku yang haus bacaan. Menikmati berbagai buku dengan modal yang hanya cukup untuk membeli segelas es teh pun tak mengapa.

Beda Istana Theklek dengan tempat-tempat sejenis adalah semua pengunjung di sini harus melepas alas kaki yang semula dipakai dan menggantinya dengan theklek yang telah disediakan oleh pengelola. Berbagai macam theklek berjajar rapi di rak-rak khusus menanti penggunanya berdatangan. Ada yang berwarna coklat biasa, ada yang bergambar batik, bahkan yang paling norak sekalipun yaitu berwarna pink bunga-bunga pun ada. Justru yang norak satu itu malah paling laris.

Pernah sekali waktu aku sengaja datang pagi ke sana agar bisa mendapatkan theklek pink bunga-bunga itu. Eh, oleh mbak penjaga rak, theklek itu tidak dikasih pinjam. Malah diberi theklek garis-garis biru yang membuatku tampak seperti mengenakan celana piyama yang kepanjangan hingga ke kaki. Sungguh menyebalkan. Ternyata usut punya usut, mbak penjaga itu telah disogok oleh segerombolan anak SMP tengil untuk menyimpankan theklek unyu itu untuk mereka sepulang sekolah nanti. Padahal ya cuma disogok sama gelang lima ribuan dari lapak sepanjang Malioboro lho, kok ya mau dia.

Nah, kupikir-pikir nih ya, daripada stress keluyuran cari sate kere dan pening kehilangan Shela, mendingan ngadem di sini dulu lah. Kapan hari aku baru membaca separuh buku Ibuku Berbeda, enaknya lanjutin aja ah. Tulisan teman-temanku banyak yang masuk ke buku antologi itu. Aku mau belajar dari tulisan-tulisan itu, siapa tau nanti aku bisa juga jadi penulis seperti teman-temanku. Mendingan jadi penulis kan daripada stres mikirin Shela.

Deg. Ingat Shela saat mataku tertuju pada theklek warna hijau tua bermotif tentara. Sepasang theklek yang membuatku galau tak berkesudahan itu nangkring dengan manis di kaki seseorang. Sumpah, di seluruh penjuru dunia hanya ada satu theklek jelek macam itu. Dan dialah Shela. Theklek kesayangan Prawit, kakakku yang paling ganteng sekamar tidurnya (dia tidur bareng Sherly, kucing kampung kesayangannya, berjenis kelamin betina).

"Lho, Nggit, ngapain awakmu di sini?" tanya si pemakai Shela tadi.

"Lik Dar, kok itu sandale Mas Prawit dipakai? Nggak bilang-bilang pula," sungutku kesal.

"Halah halah, lha wong  cuma theklek wae lho kamu geger, Nduk. Kapan itu pas paklik datang ke rumahmu, sandal paklik jebat (rusak). Ya pinjem theklek ini karena hanya itu satu-satunya sandal yang ada di dekat pintu."

Healah, kalem sekali Lik Dar menjawab pertanyaanku. Tidak tau dia aku sudah panik setengah hidup mencari Shela. Prawit sudah berkali-kali bilang padaku agar merawat Shela dan Shirley baik-baik selama dia kos di Semarang sana.

Jengkel pada Lik Dar yang seenaknya saja, namun juga lega karena Shela sudah ketemu.

"Enaknya pakai theklek ini ya Nduk, aku tidak harus melepaskan alas kaki saat masuk ke sini. Jadi enggak khawatir kakiku ketularan panu dari pemakai theklek-theklek pinjeman yang ada di rak itu."

Yeks... otomatis kukibaskan theklek polkadot oranye yang baru saja kukenakan. Hiiiiyyy....


Notes :
Gambar theklek dipinjam dari Kata Kita.
Cover buku Ibuku Berbedar dipinjam dari Diva Press.

Read More »

01 Juli 2013

Pil Anti Lupa

Kupandang cucuku yang cantik itu sembari meratapi diriku sendiri. Seakan tak percaya kini aku telah sering pipis di luar kendali, rematik melanda, juga pelupa.

Nah, harus segera kuminum pil anti lupa yang dibelikan cucuku kemarin. Mana, kok tidak ada? Aku yakin meletakkannya di meja makan ini.

“Cu… mana pil yang kemarin itu?” tanyaku.

“Eyang, ini tadi yang meletakkan di wastafel kamar mandi siapa?”

Read More »